Minggu, 25 Mei 2008

Keramik Superkonduktor

SUPERKONDUKTOR

Superkonduktivitas suatu bahan bukanlah hal yang baru. Sifat ini diamati untuk yang pertama kalinya pada tahun 1911 oleh fisikawan Belanda H.K. Onnes, yaitu ketika ia

menemukan bahwa air raksa murni yang didinginkan dengan helium cair ( suhu 4,2 K) kehilangan seluruh resistansi listriknya. Sejak itu harapan untuk menciptakan alat-alat listrik yang ekonomis terbuka lebar-lebar. Bayangkan, dengan resistansinya yang nol itu superkonduktor dapat menghantarkan arus listrik tanpa kehilangan daya sedikitpun, kawat superkonduktor tidak akan menjadi panas dengan lewatnya arus listrik. Kendala terbesar yang masih menghadang terapan superkonduktor dalam peralatan praktis sehari-hari adalah bahwa superkonduktivitas bahan barulah muncul pada suhu yang amatrendah, jauh di bawah 0 °C! Dengan demikian niat penghematan pemakaian daya listrik masih harus bersaing dengan biaya pendinginan yang harus dilakukan. Oleh sebab itulah para ahli sampai sekarang terus berlomba-lomba menemukan bahan superkonduktor yang dapat beroperasi pada suhu tinggi, kalau bisa ya pada suhu kamar.

SUHU KRITIK

Perubahan watak bahan dari keadaan normal ke keadaan superkonduktor dapat dianalogikan misalnya dengan perubahan fase air dari keadaan cair ke keadaan padat.

Perubahan watak seperti ini sama-sama mempunyai suatu suhu transisis, pada transisi

superkonduktor suhu ini disebut sebagai suhu kritik Tc, pada transisi fase ada yang disebut titik didih (dari fase cair ke gas) dan titik beku (dari fase cair ke padat). Pada transisi feromagnetik suhu transisinya disebut suhu Curie. Besaran fisis yang berkaitan dengan transisi superkonduktor adalah resistivitas bahan, mari kita lihat grafik resistivitas sebagai fungsi suhu mutlak pada gambar 1.

Pada suhu T > Tc bahan dikatakan berada dalam keadaan normal, ia memiliki Resistansi listrik. Transisi ke keadaan normal ini bukan selalu berarti menjadi konduktor biasa yang baik, pada umumnya malah menjadi penghantar yang jelek, bahkan ada yang ekstrim menjadi isolator! Untuk suhu T <>c bahan berada dalam keadaan superkonduktor. Di dalam eksperimen, pengukuran resistivitasnya dilakukan dengan menginduksi suatu sampel bahan berbentuk cincin, ternyata arus listrik yang terjadi dapat bertahan sampai bertahun-tahun. Resistivitasnya yang terukur tidak akan melebihi 10-25 ohm.meter, sehingga cukup beralasan bila resistivitasnya dikatakan sama dengan nol. Perkembangan bahan superkonduktor dari saat pertama kali ditemukan sampai sekarang dapat diikuti pada tabel di bawah ini.

Keluarga superkonduktor yang terdiri dari unsur-unsur tunggal yang dipelopori oleh temuan Onnes, disebut superkonduktor tipe I atau superkonduktor konvensional, ada kira-kira 27 jenis dari tipe ini. Suatu hal yang menarik, bahwa unsur-unsur yang pada suhu kamar merupakan konduktor banyak diantara mereka yang tidak memiliki sifat superkonduktor pada suhu rendah, contohnya tembaga, perak dan golongan alkali. Pada tahun 1960-an lahirlah keluarga superkonduktor tipe II, yang biasanya berupa kombinasi unsur molybdenum (Mo), niobium (Nb), timah (Sn), vanadium (V), germanium (Ge), indium (In) atau galium (Ga). Sebagian merupakan senyawa, sebagian lagi merupakan larutan padatan. Sifatnya agak berbeda dengan tipe I karena suhu kritiknya relatif lebih tinggi, sehingga tipe II ini sering disebut superkonduktor yang alot. Semua alat yang telah menerapkan superkonduktor dewasa ini menggunakan bahan tipe II ini, alasannya akan menjadi jelas kemudian. Pada tahun 1985 di laboratorium riset IBM di Zurich, A.Muller dan G.Bednorz memulai era baru bagi ilmu bahan superkonduktor. Mereka menemukan bahwa senyawa keramik tembaga oksida dapat memiliki sifat superkonduktor pada suhu yang relatif tinggi, rekor suhu kritik yang saat ini sudah mencapai 125 K juga dipegang oleh golongan ini. Perkembangan selanjutnya tampak agak seret, para ahli sendiri masih meributkan ada tidaknya batas suhu kritik yang mungkin dicapai. Ahli riset di Institut Teknologi California meramalkan bahwa suhu kritik superkonduktivitas tidak akan pernah melampaui 250 K, jadi masih cukup jauh di bawah suhu kamar. Apakah benar demikian, kita tunggu saja hasil-hasil penelitian berikutnya.


MEDAN MAGNET KRITIK

Tinggi rendahnya suhu transisi Tc dipengaruhi banyak faktor. Seperti tekanan yang dapat menurunkan titik beku air, suhu kritik superkonduktor juga bisa turun dengan hadirnya medan magnet yang cukup kuat. Kuat medan magnet yang menentukan harga Tc ini disebut medan kritik (Hc). Kita lihat grafik ketergantungan Tc terhadap kuat medan magnet pada gambar2. Walaupun Pb bersuhu kritik normal (tanpa medan magnet) 7,2 K, apabila ia dikenai medan H = 4,8 ´ 104 A/m misalnya, suhu kritiknya turun menjadi 4 K. Artinya dengan medan sbesar itu pada suhu 5 K pun Pb masih bersifat normal. Medan kritiknya ini dapat dinyatakan dengan persamaan :

Hc (0) adalah harga maksimum Hc yaitu harga pada suhu 0 K. Medan kritik ini tidak harus berasal dari luar, tapi juga bisa ditimbulkan oleh medan internal, yaitu jika ia diberi aliran arus listrik. Untuk superkonduktor berbentuk kawat beradius r, arus kritiknya dinyatakan oleh aturan Silsbee :

Jadi pada suhu tertentu ( T <>c ) , bahan superkonduktor memiliki ketahanan yang terbatas terhadap medan magnet dari luar dan arus listrik yang bisa diangkutnya. Kalau harga-harga kritik ini dilampaui, sifat superkonduktor bahan akan lenyap dengan sendirinya. Ambil contoh untuk kawat Pb beradius 1 mm pada suhu 4 K, agar ia tetap bersifat superkonduktor ia tidak boleh menerima medan magnet lebih besar dari 48000 A/m atau mengangkut arus listrik lebih dari 300 A. Pada ukuran dan suhu yang sama Nb3Sn mampu mengangkut 12500 A, oleh sebab itulah secara teknis superkonduktor tipe II lebih baik pakai. Sebagai perbandingan YBCO pada suhu 77 K dapat mengangkut arus sebesar 530 A, cukup lumayan! Naiknya suhu operasi mempunyai nilai ekonomis, karena biaya pendinginan menjadi lebih murah dibandingkan helium cair (untuk menjaga suhu 4 K). Satu liter He harganya US$ 4 (Rp.7000) sedangkan satu liter N2 cuma 25 cent (Rp.450), padahal dalam prakteknya penguapan 1 liter N2 setara dengan penguapan 25 liter He.

EFEK MEISSNER

Sifat kemagnetan superkonduktor diamati oleh Meissner dan Ochsenfeld pada tahun 1933, ternyata superkonduktor berkelakuan seperti bahan diamagnetiksempurna, ia menolak medan magnet sehingga ia pun dapat mengambang di atas sebuah magnet tetap. Jadi kerentanan magnetnya (susceptibility) c = -1, bandingkan dengan konduktor biasa yang c = -10-5. Fenomena ini disebut efek Meissner yang tersohor itu.

Jadi satu keunggulan lagi bagi superkonduktor terhadap konduktor biasa. Ia tidak saja menjadi perisai terhadap medan listrik, tapi juga terhadap medan magnet, artinya medan listik dan magnet sama dengan nol di dalam bahan superkonduktor. Tetapi pada tahun 1935 London bersaudara melalui penelitian sifat elektrodinamik superkonduktor mendapatkan bahwa intensitas medan magnet masih dapat menembus

bahan superkonduktor walaupun hanya sebatas permukaan saja, ordenya hanya beberapa ratus angstrom. Sifat rembesan ini dinyatakan oleh parameter l yang disebut kedalaman rembesan London. Medan magnet ternyata berkurang secara eksponensial terhadap kedalaman sesuai dengannya.

Bo adalah medan di luar dan x adalah kedalamannya. l membesar dengan naiknya suhu, di Tc harga l tak berhingga besar, sehingga medan magnet mampu menerobos ke seluruh bagian bahan tersebut atau dengan perkataan lain sifat superkonduktor telah hilang digantikan dengan keadaan normalnya. Teori London ini juga memberikan kesimpulan bahwa dalam bahan supekonduktor arus listrik akan mengalir di bagian permukaannya saja. Hal ini berbeda dengan arus listrik dalam konduktor biasa yang mengalir secara merata di seluruh bagian konduktor. Perbandingan watak magnetik pada keadaan normal, superkonduktor tipe I dan tipe II adalah seperti pada gambar 3.

Pada tipe ii terdapat daerah peralihan yaitu antara Hcl dan Hc , pada saat itu struktur bahan terjadi dari daerah normal yang berupa silinder-silinder kecil, disebut fluksoid karena bisa diterobos fluks magnet, yang dikelilingi sepenuhnya oleh daerah superkonduktor.

TEORI BCS

Teori tentang superkonduktor yang lebih terinci melibatkan mekanika kuantum yang dalam, diajukan oleh Barden, Cooper dan Schrieffer pada tahun 1975 dikenal sebagai teori BCS yang akhirnya memenangkan hadiah Nobel pada tahun 1972. Dalam teori ini dikatakan bahwa elektron-elektron dalam superkonduktor selalu dalam keadaan berpasang-pasangan dan seluruhnya berada dalam keadaan kuantum yang sama, pasangan-pasangan ini disebut pasangan Cooper. Kita bandingkan dengan elektron konduksi dalam konduktor biasa. Di sini elektron bergerak sendiri-sendiri dan akan kehilangan sebagian energinya jika ia terhambur oleh kotoran (impurities) atau oleh phonon, phonon adalah kuantum energi getaran kerangka (lattice) kristal bahan. Elektron tersebut akan menimbulkan distorsi terhadap kerangka kristal sehingga menimbulkan daerah tarikan. Tarikan ini dalam superkonduktor pada suhu rendah bisa mengalahkan tolakan Coulomb antar elektron, sehingga dengan ukar menukar phonon dua elektron justru akan membentuk ikatan menjadi pasangan Cooper. Oleh karena keadaan kuantum mereka semuanya sama, suatu elektron tidak dapat terhambur tanpa mengganggu pasangannya, padahal pada suhu T <>c getaran kerangka tidak memiliki cukup energi untuk mematahkan ikatan pasangan tersebut. Akibatnya mereka tahan terhadap hamburan, jadilah bahan tersebut superkonduktor.

SUPERKONDUKTOR KERAMIK

Bahan superkonduktor suhu tinggi yang memiliki bahan dasar keramik secara teoritis belum dapat dijelaskan tuntas. Ia tidak bisa digolongkan ke dalam tipe I maupun II karena ada beberapa sifatnya yang unik. Bentuk kristalnya termasuk golongan perovskite, suatu bentuk kristal kubus yang cukup populer. Rumus umum molekul perovskite adalah ABX3 , dimana A dan B adalah kaiton logam dan X adalah anion non logam. Banyak bahan elektronis yang memiliki bentuk perovskite ini, misalnya PbTiO3 dan PbZrO3 yang bersifat piezoelektrik kuat sehingga baik digunakan untuk pressure-gauge. Superkonduktor suhu tinggi ini ternyata berupa perovskite yang cacat. Misalnya YBCO yang ditemukan oleh Chu Chingwu cs. dari Universitas Houston berbentuk 3 kubus perovskite dengan rumus molekul YBa2Cu3O6,5 , yang menunjukkan defisiensi atom oksigen sebagai anionnya (mestinya ada 9 atom). Nama lain untuk YBCO ini adalah 1-2-3, menunjukkan perbandingan cacah atom Y, Ba dan Cu di dalam kristalnya. Atom-atom tembaganya terletak pada suatu lapisan inilah arus listrik lewat dalam bahan YBCO. Struktur yang demikian memiliki andil yang besar bagi sifat superkonduktivitas suhu tinggi, terbukti senyawa barium-kalium-bismuth-oksida buatan AT & T Bell Laboratoies (1988) cuma memiliki Tc = 30 K, senyawa ini tentu saja tidak memiliki atom tembaga sebagai lapisan penghantar elektron. Elektron-elektron juga dalam keadaan berpasangan, hal ini telah dibuktikan dengan dijumpainya flukson yang merembes di dalamnya. Flukson adalah kuantum fluks magnetik dalam superkonduktor, besarnya kira-kira 2 x 10-15 weber, dalam perhitungan besarnya ini bersesuaian dengan kehadiran partikel bermuatan listrik dua kali muatan elektron. Watak-wataknya yang masih perlu penjelasan teoritis adalah tarikan antar elektron dalam pasangan Cooper yang ternyata masih cukup kuat walaupun suhu transisinya tinggi. Padahal suhu yang tinggi menyebabkan bertambahnya cacah phonon, sehingga ikatan elektron itu seharusnya akan hancur karenanya. dalam kaitan ini peranan kerangka kristal harus kembali dipertanyakan. Mungkin saja kotoran di dalamnya yang justru mampu meredam interaksi phonon atau gangguan-gangguan lain termasuk medan magnet yang besar agar ia tetap stabil sebagai superkonduktor. Sifat lain yang tidak menguntungkan dari YBCO adalah mudahnya ia melepaskan oksigen ke lingkungannya, padahal dengan berkurangnya atom oksigen sifat superkonduktornya akan hilang. Lagi pula ia terlalu rapuh untuk dibentuk menjadi kawat. Lebih jauh lagi Philip W. Anderson (pemenang hadiah Nobel 1977 bidang Fisika) mengemukakan peranan besaran spin dalam fenomena superkonduktor suhu tinggi ini, pernyataan ini telah didukung oleh data percobaan MIT oleh RJ Birgeneau. Sungguh merupakan sebuah tantangan besar bagi para ahli dari berbagai bidang untuk memahami lebih jauh fenomena superkonduktor jenis baru ini. Tampaknya bahan ini akan semakin merajai teknologi pada masa yang akan datang, yaitu abad XXI.

Tidak ada komentar: