Minggu, 22 Juni 2008

Pembuatan Silika Amorf dari Limbah Sekam Padi

Sekam padi adalah bagian terluar dari butir padi, yang merupakan hasil sampingan saat proses penggilingan padi dilakukan. Sekitar 20 % dari bobot padi adalah sekam padi dan kurang lebih 15 % dari komposisi sekam adalah abu sekam yang selalu dihasilkan setiap kali sekam dibakar (Hara, 1986). Nilai paling umum kandungan silika dari abu sekam adalah 94 - 96 % dan apabila nilainya mendekati atau di bawah 90 % kemungkinan disebabkan oleh sampel sekam yang telah terkontaminasi dengan zat lain yang kandungan silikanya rendah. Silika yang terdapat dalam sekam ada dalam bentuk amorf terhidrat (Houston, 1972). Tapi jika pembakaran dilakukan secara terusmenerus pada suhu di atas 650oC akan menaikkan kristalinitasnya dan akhirnya akan terbentuk fasa kristobalit dan tridimit dari silika sekam (Hara,1986). Silika merupakan bahan kimia yang pemanfaatan dan aplikasinya sangat luas mulai bidang elektronik, mekanik, medis, seni hingga bidang-bidang lainnya. Salah satu pemanfaatan serbuk silika yang cukup luas adalah sebagai penyerap kadar air di udara sehingga memperpanjang masa simpan bahan dan sebagai bahan campuran untuk membuat keramik seni. Sedangkan silika amorf terbentuk ketika silikon teroksidasi secara termal. Silika amorf terdapat dalam beberapa bentuk yang tersusun dari partikel-partikel kecil yang kemungkinan ikut tergabung. Biasanya silika amorf mempunyai kerapatan 2,21 g/cm3.

METODE PENELITIAN
Sintesa silika dari sekam padi dilakukan secara bertahap seperti ditunjukkan oleh Tabel 1 yang meliputi pencucian yang bertujuan untuk membersihkan sekam dari impuritas akibat kotoran. Penimbangan dilakukan untuk dua sampel, sampel A dan sampel B, masingmasing 8 gram. Proses pengeringan dilakukan dengan dua cara yang mewakili dua sampel yaitu untuk sampel A dilakukan dengan cara dijemur di bawah sinar matahari selama 1 jam dan sampel B dilakukan dengan cara dioven pada suhu 190oC selama 1 jam. Perbedaan perlakuan ini akan digunakan sebagai variabel penelitian. Pengarangan sekam padi untuk kedua sampel ini dilakukan dengan cara dioven pada suhu 300oC selama 30 menit. Proses pengabuan dilakukan untuk mengetahui kandungan abu dari sekam padi. Kedua sampel diperlakukan sama yaitu dengan cara dioven pada suhu 600oC selama 1 jam. Proses pemurnian sampel dilakukan untuk memisahkan silika dari abu sekam. Metode yang dipakai untuk pemurnian ini adalah metode pengasaman yaitu dengan menggunakan larutan HCl pekat.

Proses pemurniannya dilakukan dengan cara sampel berupa abu sekam dimasukkan ke dalam gelas piala dan dibasahi dengan akuades panas. Selanjutnya campuran ditambahkan 5 ml HCl pekat dan diuapkan sampai kering. Pengerjaan ini diulangi tiga kali. Selanjutnya dituangkan 20 ml akuades dan 1 ml HCl pekat ke gelas piala tadi dan dibiarkan di atas penangas air selama 5 menit. Campuran tersebut kemudian disaring dengan kertas saring bebas abu dan dicuci 4 sampai 5 kali dengan akuades panas. Hasil dari penyaringan berupa residu padat beserta kertas saringnya dipanaskan mula-mula pada suhu 300oC selama 30 menit hingga kertas saring menjadi arang. Kemudian dilanjutkan dengan memanaskan pada suhu 600oC hingga yang tersisa hanya endapan Silika (SiO2) berwarna putih. Setelah diperoleh silika kemudian dilakukan proses identifikasi dengan menggunakan metode Atomic Absorption Spectophotommmmetry (AAS). Selain itu dilakukan juga analisa yang meliputi analisa komposisi, penentuan prosentase hilang bobot dan pemurnian Karakterisasi terhadap serbuk silika yang dihasilkan meliputi (1) Analisa Komposisi yang dilakukan dengan menggunakan metode identifikasi AAS. (2) Analisa Kandungan Abu Sekam digunakan untuk mengetahui kandungan abu sekam yang diperoleh setelah sekam dibakar. Banyaknya abu sekam yang dihasilkan dihitung berdasarkan perbandingan massa sekam setelah dibakar dengan massa sekam sebelum dibakar dikalikan seratus persen. (3) Penentuan Prosentase Hilang Bobot yang menunjukkan hilangnya sejumlah massa selama sampel dibakar dihitung berdasarkan perbandingan antara massa sampel sebelum dibakar dikurangi massa sampel setelah dibakar dengan massa sampel sebelum dibakar kali seratus persen. (4) Analisa Kandungan Silika (Pemurnian) digunakan untuk mengetahui kandungan silika dalam abu sekam yang dihitung berdasarkan perbandingan massa silika setelah proses pemurnian dengan massa silikat sebelum proses pemurnian dikalikan seratus persen.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengeringan dilakukan untuk mengeliminasi kandungan air dalam bahan dengan menguapkan air dari permukaanbahan. Prosesini diikuti oleh pengurangan volume. MenurutHall (1957), laju pengeringan menurun seiringdengan dengan penurunan kadar air selama penguapan dan menurut Earle (1969), berlangsungnya proses pengeringan tidak terjadi dalam suatu waktu sekaligus. Berdasar kedua pendapat tersebut dapat dijelaskan bahwa pada pengeringan melalui penjemuran di bawah sinar matahari, penyebaran panas kedalam bahan berlangsung secara bertahap dan menyeluruh sehingga penyerapan air ke udara lebih merata, sementara pengeringan yang menggunakan oven tidak demikian halnya. Ketika bahan mulai dikenai energi panas dari oven bersuhu 190oC laju pengeringan sangat cepat, hingga pada saat masih tersisa sejumlah kandungan air, laju pengeringan mulai menurun. Menurunnya laju pengeringan tersebut menyebabkan difusi air ke permukaan berjalan lambat, sementara proses penguapan dipermukaan telah berhenti. Akibatnya masih ada molekul-molekul air yang terperangkap didalam bahan. Hal tersebut mengakibatkan kandungan air dalam bahan tidak seluruhnya diuapkan. Adanya sisa kandungan air dalam abu sekam padi dapat pula menghalangi proses difusi komponen-komponen kimia yang terkandung dalam abu sekam saat dipanaskan sehingga berpengaruh pada kemurnian abu sekam. Proses pemurnian dibawah kondisi asam dimaksudkan untuk menghilangkan oksidaoksida logam dan non logam dari dalam abu ssekam karena asam klorida yang diberikan akan mengikat oksida logam yaitu P2O5, K2O, MgO, Na2O,CaO dan Fe2O3 menjadi kloridanya dan oksida non logam kecuali silika diubah menjadi asamnya. Pemanasan dilakukan untuk mempercepat reaksi penguraian yang terjadi. Penerapan suhu tinggi yang mencapai 800oC memberikan tambahan energi kepada abu sekam padi untuk memutuskan ikatan antar atom-atom pembangun unsur atau molekul. Pemutusan ikatan tersebut memberi kemungkinan kepada masing-masing atom tersebut untuk menjadi bebas sehingga lebih mudah dikeluarkan dari dalam bahan. Oksida-oksida logam tidak dapat dihilangkan sepenuhnya dari dalam abu sekam padi mengingat kuatnya ikatan-ikatan yang terbentuk antara oksida-oksida pengotor tersebut sehingga menyulitkan asam klorida untuk menguraikannya. Hasil analisa komposisi sekam padi seperti pada Tabel 2 menunjukkan bahwa unsur silikon (Si) sangat dominan dalam sekam padi. Hasil analisa kandungan abu sekam (Tabel 3 ) menunjukkan bahwa kandungan abu sekam untuk sampel A adalah 19,99 % sedangkan sampel B adalah 21,22 %.. Hasil penentuan prosentase hilang bobot (Tabel 4) menunjukan prosentase hilang bobot untuk sampel A adalah 80,02 % sedangkan sampel B adalah 78,78 %. Dari hasil analisa kandungan silika (Tabel 5) diperoleh bahwa kandungan silika dari abu sekam untuk sampel A adalah 89,46 % dan sampel B adalah 83,15 %.Perbedaan nilai prosentase antara sampel A dan sampel B disebabkan oleh perbedaan perlakuan ketika proses pengeringan. Dari analisa kandungan abu dari sekam didapat bahwa sampel A mengandung abu lebih sedikit dibanding dengan sampel B. Sebaliknya kandungan silika sampel A lebih banyak dibandingkan sampel B. Hal ini bisa terjadi karena sampel A yang dikeringkan di bawah sinar matahari dan sampel B yang dikeringkan dengan oven mempunyai kualitas pengeringan yang berbeda. Dari hasil di atas sudah dapat disimpulkan bahwa pengeringan di bawah sinar matahari lebih baik dari pada dioven. Pengurangan prosentase abu yang didapat ini disebabkan pada penelitian ini sekam padi dicuci terlebih dahulu sebelum dikeringkan. Pencucian ini dimaksudkan untuk menghilangkan kotoran yang ada pada sekam sehingga memperkecil impuritas.

Senin, 09 Juni 2008

Simulasi Berbagai Interaksi Neutron Pada Bahan

Metoda Monte Carlo adalah metoda yang tepat untuk melakukan perhitungan transport neutron dalam analisa shielding, analisa kerusakan oleh radiasi partikel, perhitungan nuklir reactor, aplikasi medis, dan banyak fenomena lainnya. Meskipun telah banyak kode komputer Monte Carlo yang telah dibangun dan diaplikasikan, merupakan suatu hal yang menarik untuk mengembangkan kode komputer Monte Carlo sendiri dan mengaplikasikannya pada masalah-masalah yang dihadapi, selain itu, kegiatan membangun kode komputer merupakan cara terbaik untuk dapat
mengenal dengan baik metoda Monte Carlo ini. Pada tahap awal, kode komputer yang dikembangkan mampu melakukan simulasi distribusi interaksi pertama neutron pada bahan dengan geometri silinder, disamping geometri slab. Bagian pertama dari kode komputer ini adalah untuk menentukan parameter dari neutron sumber termasuk posisi dan arahnya pada permukaan silinder. Lalu, dengan menggunakan bilangan random untuk mensimulasi jarak ke interaksi pertama, ditentukan posisi dari interaksi pertama pada bahan. Sumber searah dan sumber isotropic digunakan pada pengembangan kode komputer ini, dan geometri silinder yang ditangani termasuk silinder berongga. Pengembangan kode komputer selanjutnya adalah untuk dapat mensimulasikan interaksi-interaksi yang munkin terjadi dengan bahan, dan mengaplikasikannya pada kasus sederhana perhitungan kekritisan reaktor nuklir. Perkembangan performa komputer yang mampu melakukan komputasi dengan waktu yang sangat cepat telah memberikan revolusi yang besar terhadap dunia ilmu pengetahuan.

Dengan adanya komputer cepat ini maka eksperimen tidak hanya dilakukan fisis, yaitu melakukan percobaan langsung, namun dapat dilakukan eksperimen dengan mensimulasikan fenomena fisi yang terjadi dan menyelesaikannya dengan komputer, yang disebut dengan eksperimen numeric atau eksperiment komputasi. Dibandingkan dengan metoda eksperimen yang pertama,selain jauh lebih murah, aman, dan fleksibel, metoda komputasi dapat memberikan informasi yang lebih banyak terhadap fenomena fisi yang diamati, dapat memahami fenomena tersebut lebih mendalam, dan mampu melakukan eksperimen dengan cakupan yang lebih luas, misalnya dari segi energi, ukuran material. Secara umum metoda simulasi komputasi ini dapat dibagi kedalam dua pendekatan yaitu metoda deterministic dan . metoda Monte Carlo.Metoda deterministic terkait dengan solusi dari persamaan integral atau diferensial yang menggambarkan ketergantungan system fisis yang diamati terhadap variable ruang dan atau variable waktu. Keakuratan metoda deterministic sangat tergantung pada sebagaimana dekat persamaan yang dipecahkan tadi menggambarkan realitas fisis yang diamati. Sedangkan metoda Monte Carlo terkait dengan kelakuan rata-rata atau yang munkin terjadi dari sebuah system fisis. Dengan mengetahui probabilitas terjadinya berbagai kejadian yang mungkin terjadi dari fenomena fisis tersebut maka dengan menggunaka bilangan acak dilakukan simulasi terjadinya peristiwa-peristiwa tersebut. Sehingga dengan jumlah percobaan yang semakin banyak, hasil atau peristiwa yang banyak muncul dapat menggambarkan kelakuan dari system fisis yang diamati. Dalam fenomena transport neutron atau partikel secara umum, dengan Metoda Monte Carlo kita ikuti sejarah hidup dari partikel sejak dari sumber, lalu berbgai interaksi yang dialami oleh partikel ketika menembus bahan hingga ‘kematiannya’ pada kategori akhir tertentu....Bersambung, "karena ini karya orang"

Minggu, 01 Juni 2008

ASPEK METALURGI DALAM PROSES PENGERJAAN LOGAM

Secara garis besar tujuan pengerjaan logam adalah memproduksi material dengan ukuran dan bentuk yang diinginkan, tetapi material ini akan mempunyai daya jual yang kecil bila tidak memenuhi karakteristik seperti sifat kekuatan dan keuletannya. Pada umumnya karakteristik ini ditentukan besarnya tergantung dari tujuan pemakain material tersebut
ini sangat penting untuk memberikan suatu pemahaman terhadap sifat alami dan karakteristik secara metalurgis dari suatu benda kerja. Walaupun beberapa logam murrni mempunyai sifat ulet pada temperatur kamar dimana logam tersebut dapat dibentuk tanpa masalah.
Metalurgical condition , mengenai kekuatan dan keuletan suatu produk dari material adalah yang utama yang dapat dipengaruhi oleh jumlah dan distribusi komposisi dan pengotor, atau cacat secara macroskopik pada material. Akan tetapi karakteristik material tersebut dapat juga dipengaruhi dengan perlakuan tempertur atau perlakuan panas.
Bila diasumsikan bahwa kondisi alat dan benda kerja sangat baik, pengontrolan dalam aspek metalurgis juga baik , pengaruh temperatur juga dijaga, maka hanya untuk dua tujuan yaitu menjaga karakteristik benda kerja selama pengerjaan dan memenuhi karakteristik akhir dari produk material.
Karakteristik Dari Pengerjaan Panas Dan Dingin
perbedaan antara pengerjaan panas dan pengerjaan dingin sulit didefinisikan secara metalurgis. Pada pengerjaan panas, gaya deformasi yang diperlukan adalah lebih rendah dan perubahan sifat mekanik tidak seberapa. Pada pengerjaan dingin, diperlukan gaya yang lebih besar, akan tetapi kekuatan logam tersebut meningkat dengan cukup berarti
suhu rekristalisasi logam menentukan batas antara pengerjaan panas dan dingin. Pengerjaan panas logam dilakukan di atas temperatut rekristalisasi atau di atas daerah pengerasan benda kerja. Pengerjaan dingin dilakukan di bawah suhu rekristalisasi dan kadang-kadang berlangsung pada suhu kamar. Suhu rekristalisasi baja berkisar antara 500-700 0C. Pengerasn benda kerja baru mulai terjadi ketika limit bawah daerah tercapai.
1.1 pengerjaan panas
Contoh baja paduan rendah kekuatan tinggi yang di rol adalah bentuk plat. Untuk contoh. diperoleh peningkatan baja paduan rendah ini melalui kontrol suhu sebelum dan sesudah rol (diatas Ac3),


Dari pengamatan strukturmikro pada benda kerja setelah mengalami pengerjaan panas dapat diterangkan sebagai berikut :
Struktur mikro pada pendinginan langsung di udara terbuka setelah rol panas, terdiri atas ferit-perlit, dan matriknya : ferit
Strukturmikro setelah perlakuan kontrol suhu dan pendinginan setelah rol panas adalah tipe bainit
Dari inilah maka bisa diperkirakan mengenai sifat mekanik logam akibat pengerjaan panas dimana sifatnya sangat ulet

1.2 Pengerjaan dingin
Untuk pengerjaan dingin diperlukan tekanan yang lebih besar daripada pengerjaan panas. Logam mengalami deformasi tetap bila tegangan melebihi batas elastik. Karena tidak mungkin terjadi rekristalisasi selama pengerjaan dingin, tidak terjadi pemulihan dari butir yang mengalami distorsi atau perpwecahan.
Dengan meningkatnya deformasi butir, tahanan deformasi meningkat sehingga logam mengalami peningkatan kekuatan dan kekerasan. Dapat dikatakan bahwa logam mengalami pengerasan regangan. Untuk logam yang tidak dapat diperlakupanaskan , hal ini merupoakan satu-satunya cara untuk mengubah sifat fisis seperti kekerasan dan kekuatan. Peningkatan tahanan terhadap deformasi ditimbulkan oleh terjadinya dislokasi atom dalam butir, perpecahan atau distorsi kisi atau kombinasi dari ketiga gejala tersebut.
Adanya unsur paduan
Bila suatu unsur paduan ditambahkan ke dalam baja, kemungkinan yang terjadi atau dapat dikatakan Purpose of alloying:
  • Increase hardenability
  • Improve strength at ordinary temperatures
  • Improve mechanical properties at either high or low temperatures
  • Improve toughness at any minimum hardness or strength
  • Increase wear resistance
  • Increase corrosion resistance
  • Improve magnetic properties
3. Workability
suatu material harus mempunyai sifat mampu untuk pengerjaan logam, jadi bila suatu logam mempynayi sifat workability yang baik maka logam tersebut dapat dikatakan mempunyai perfomansi yang baik dalam pengerjaan logam
4. Cacat Dalam Pengerjaan Logam
Kristal adalah kumpulan dari atom – atom yang tersusun secara teratur dalam tiga dimensi membentuk pola tertentu secara berulang – ulang. Diantara kedua kristal sempurna (tunggal) di satu pihak, dan keadaan omorf di pihak lain, terdapat keadaan yang disebut polikristal (kristal jamak). Zat padat pada keadaan initersusun oleh kristal-kistal kecil. Bila ukuran kristalnya dalam ukuran orde mikrometer, bahan yang bersangkutan termasuk kristal mikro (microcrystalline); dan bila ukuran kristalnya dalam orde nanometer, maka bahannya digolongkan sebagai kristal nano (nanocrystalline).
Cacat Kristal
Sejauh yang telah diuraikan pada bagian-bagian terdahulu, kristal terdiri dari susunanatom yang teratur dan periodik. Tetapi, ternyata tidak ada kristal yang sempurna. Setiapkristal mengandung cacat (defect). Cacat kristal ini besar kemungkinannya untuk terjadiselama proses pertumbuhan kristal, proses pemurnian atau proses laku (treatment), dan bahkan sering kali cacat kristal sengaja diciptakan untuk menghasilkan sifat – sifat tertentu. Cacat kristal dapat dibedakan menjadi cacat titik, cacat garis, cacat bidang, cacat ruang.
Deformasi Plastis dan Hubungan antara Slip dengan Struktur Kristal
Batas rentang elastis sulit didefinisikan dengan tepat. Di bawah suatu nilai tegangan batas elastis tertentu , jumlah plastisitas ( deformasi irreversibel ) dapat diabaikan , dan diatas nilai tersebut jumlah deformasi plastis jauh lebih besar daripada deformasi elastis.
Fakta bahwa kristal dapat dideformasi plastis dengan mudah pada tegangan yang jauh lebih rendah dari kekuatan teoritis ( τt = μb / 2πa ) cukup mencengangkan> Hal ini mungkin terjadi berkat mobilitas dislokasi. Ketika sebuah dislokasi meluncur pada kisi, dislokasi tersebut bergerak dari posisi simetris ke posisi lain, dan pada setiap posisi dislokasi berada dalam posisi ketimbangan netral , karena gaya atom yang bekerja padanya pada setiap sisi berimbang. Ketika dislokasi bergerak dari posisi kisi simetris tersebut terjadi ketidaksetimbangan gaya atomik, dan tegangan yang bekerja harus mengatasi gesekan kisi. Perpindahan dislokasi intermediet dari dislokasi juga akan menghasilkan keseimbangan sistem gaya.

Gesekan kisi ternyata peka terhadap dislokasi w dan oleh Peierls dan Nabarro telah diperlihatkan bahwa
Τ ≈μ exp ( -2πw/b )
Oleh karena itu , tegangan gesekan sering disebut tegangan Peierls –Nabarro. Dua faktor berlawanan yang mempengaruhi w adalah energi elastisitas kristal yang berkurang dengan penyebaran regangan elastis dan energi ketidakcocokan yang bergantung pada jumlah atom salah letak yang melintasi bidang slip. Logam – logam dengan struktur tumpukan padat mempunyai dislokasi diperluas sehingga w nya besar.

Gambar diatas adalah tekstur dari polikristal Al dengan ukuran butir 30 nm dan mengalami deformasi plastis pada tegangan 2,3 Gpa pada temperatur kamar. Bila dilihat pada butir no 2 terjadi dislokasi melintang pada butir.

Gambar diatas adalh formasi deformasi twinning. Deformasi twinning terjadi bila satu bagian dari butir kristal berubah orientasinya sedemikian rupa sehingga susunan atom di bagian tersebut akan membentuk simetri dengan bagian kristal yang lain yang tidak mengalami twinning. Diameter butir gamabar diatas adallah 45 nm atom yang digambarkan merah menggambarkan letak atom yang sempurna sedangkan yang berwarna biru merupakan atom yang mengalami dislokasi.
Proses dengan heat treatment
Perlakuan panas atau heat treatment dapat didefinisikan sebagai kombinasi operasi pemanasan dan pendinginan terhadap logam atau paduan dalam keadaan padat dengan waktu tertentu, dimaksutkan untuk memperoleh sifat tertentu. Proses laku panas yang terjadi dalam heat treatment pada dasarnya adalah pemanasan logam atau paduan sampai temperatur tertentu, lalu ditahan beberapa saat, dan proses pendinginan dengan laju tertentu. Selama proses pemanasan dan pendinginan ini akanterjadi perubahan struktur mikro sehingga akan mempengaruhi sifat mekanik suatu logam atau paduan.


Selain dipengaruhi oleh komposisi kimia logam atau paduan dan proses laku pans yang dialami, struktur mikro yang terjadi pada akhir proses laku panas juga ditentukan oleh kondisi awal benda kerja. Paduan dengan komposisi kimia yang sama, mengalami proses laku panas yang sama, mungkin akan mmenghasilkan strukturmikro dan sifat yang berbeda bila struktur atau kondisi awalnya berbeda. Struktur awal ini banyak ditentukan oleh pengujian atau laku panas yang dialami sebelumnya. Dari sini dapat disimpulkan bahwa suatu proses laku panas tidak dapat dipandang sebagai suatu proses tersendiri, namun merupakan salah satu rangkaian proses produksi. (Thelning,1984) Kurva berikut ini menunjukkan transformasi yang terjadi pada baja 0.45%C.

Di bawah ini adalah beberapa tipe dari perlakuan panas :
1. Aniling adalah proses laku panas yang dilakukan dengan memanaskan baja sampai temperatur tertentu, lalu menahannya, dan mendinginkannya secara perlahan.
2. Normalizing adalah proses laku panas yang dilakukan dengan pemanasan, penahanan dan pendinginan pada udara diam.
3. Hardening adalah proses panas yang dilakukan dengan memanaskan baja ke daerah austenit kemudian mendinginkannya dengan cepat.
4. Tempering adalah proses laku panas yang dilakukan dengan memanaskan kembali baja yang telah mengalami pengerasan,hingga ke tempratur dibawah austenisasi, menahan dan mendinginkannya.

Hal dasar yang harus dipahami dalam perlakuan panas terhadap baja adalah diagram fase Fe-C karena telah banyak buku yang membahasnya. Gambar 2.1 adalah gambar diagram fase Fe-C yang dapat digunakan sebagai acuan dalam proses hardening dan tempering untuk baja karbon. Diagram fase Fe-C ini menunjukan fase-fase yang terjadi untuk kombinasi yang berbeda antara temperatur dan prosentase kandungan karbon dalam baja pada kondisi equilibrium

Minggu, 25 Mei 2008

PENGARUH TEMPERATUR PEMANASAN

Pemakaian baja dalam kehidupan mensyaratkan beberapa faktor seperti kekuatan, kekerasan, tahan panas, tidak cepat aus, dan sebagainya. Banyak upaya untuk meningkatkan kualitas baja yang salah satunya dengan proses perlakuan panas (heat treatment). Proses Hardening mampu meningkatkan kekerasan dan kekuatan baja, tetapi baja yang telah dikeraskan bersifat rapuh dan tidak cocok untuk digunakan sehingga perlu pengerjaan lanjut yaitu dengan tempering. Pengujian dilakukan baik pada sifat fisis ( komposisi, struktur mikro dan fotomakro) maupun sifat mekanis (kekerasan dan kekuatan tarik).

Hasil penelitian memperoleh kekuatan tarik raw materials sebesar 73,45 kg/mm2 dengan VHN sebesar 190, setelah mengalami proses hardening 8250C kekuatan tarik menjadi 185,07 kg/mm2 dengan VHN sebesar 737,67. Low tempering

berkekuatan tarik 123,43 kg/mm2 dengan VHN sebesar 562, medium tempering mempunyai kekuatan tarik 114,14 kg/mm2 dengan VHN sebesar 446,3 sedangkan

high tempering berkekuatan tarik 87,73 kg/mm2 dengan VHN sebesar 283. Semakin tinggi suhu pemanasan pada proses tempering kekuatan tarik dan kekerasan semakin menurun, sebaliknya keuletannya meningkat sehingga disesuaikan dengan keperluan.

Pemakaian baja dalam kehidupan mensyaratkan faktor keuletan, kekerasan, tahan aus dan sebagainya. Peningkatan kualitas baja ini dapat dilakukan dengan penambahan unsur paduan atau dengan perlakuan panas. Perlakuan panas (heat treatment) pada baja mempunyai peran yang sangat penting dalam upaya mendapatkan sifat-sifat tertentu yang

diinginkan sesuai dengan kebutuhan. Proses ini meliputi pemanasan baja pada suhu tertentu dan dipertahankan pada waktu tertentu serta didinginkan pada media tertentu pula. Perlakuan panas mempunyai tujuan untuk meningkatkan keuletan, menghilangkan tegangan internal (internal stress), menghaluskan ukuran butir kristal dan meningkatkan kekerasan atau tegangan tarik logam. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi perlakuan

panas, yaitu suhu pemanasan, waktu yang diperlukan pada suhu pemanasan, laju pendinginan dan lingkungan atmosfir. Menurut Fox (1999), bahwa fatigue crack growth rate (FCGR) pada material Ti 24 yang diuji pada temperatur 723’C di dalam argon lebih tinggi dibandingkan dengan didalam temperetur ruang. Baja yang telah dikeraskan (quench) bersifat rapuh dan tidak cocok untuk digunakan, akibat pengejutan akan menjadi sangat keras (sekeras gelas) dan getas. Melalui proses tempering kekerasan dan kerapuhan dapat diturunkan sampai memenuhi persyaratan penggunaan karena beban yang kecil saja akan mengakibatkan pecah. Proses ini bertujuan untuk mendapatkan baja yang keras dan ulet atau tercapainya keuletan setinggi-tingginya pada kekerasan yang memadai, sebab sebagian kekerasan baja akan berkurang oleh proses pemanasan, contohnya pada pahat, palu, mata bor, tap dan sebagainya. Berdasarkan uraian di atas permasalahan utama yang akan diungkap dalam penelitian ini adalah: berapa besar kekuatan tarik baja C1045 akibat

perubahan suhu pemanasan pada proses tempering.

Perlakuan untuk menghilangkan tegangan dalam dan menguatkan baja dari kerapuhan isebut dengan memudakan (tempering). Tempering didefinisikan sebagai proses pemanasan logam setelah dikeraskan pada temperatur tempering (di bawah suhu kritis), yang dilanjutkan dengan proses pendinginan (Koswara, 1999). Prosesnya adalah memanaskan kembali berkisar antara suhu 150 – 6500C dan didinginkan secara perlahan-lahan tergantung sifat akhir baja tersebut, menurut Schonmetz (1985) tujuan proses tempering dibedakan sebagai berikut:

a. Tempering pada suhu rendah (150- 300oC) Perlakuan ini hanya untuk mengurangi tegangan-tegangan kerut dan kerapuhan dari baja, biasanya untuk alat-alat kerja yang tidak mengalami beban berat seperti alat-alat potong,

mata bor dan sebagainya.

b. Tempering suhu menengah (300- 550oC) Bertujuan untuk menambah keuletan,

dan kekerasannya sedikit berkurang. Proses ini digunakan pada alat-alat kerja yang mengalami beban berat, misalnya palu, pahat, pegas.

c. Tempering pada suhu tinggi (550- 650oC) Tempering pada suhu tinggi bertujuan

untuk memberikan daya keuletan yang besar dan sekaligus kekerasannya menjadi agak rendah, misalnya pada roda gigi, poros, batang penggerak dan sebagainya.

Pengujian tarik dilakukan untuk mengetahui sifat-sifat mekanis suatu logam dan paduannya. Pengujian ini paling sering dilakukan karena merupakan dasar pengujian-pengujian dan studi mengenai kekuatan bahan. Hasil yang diperoleh dari proses pengujian tarik adalah grafik tegangan-regangan, parameter kekuatan dalam dan keliatan material pengujian dalam prosen perpanjangan, kontraksi dan bentuk permukaan patahannya. Bentuk penampang patah dapat diklasifikasikan menurut bentuk tesktur dan warna. Jenis-jenis perpatahan mengenai bentuknya adalah simetri, kerucut mangkok (cup cone), rata (flat), dan tak teratur (irregular). Bermacam-macam deskripsi tekstur adalah silky (seperti sutera), butir halus, butir kasar atau granular, berserat (fibrous), kristalin, seperti kaca (glassy) dan pudar. Proses pengujian logam kekerasan dapat diartikan sebagai kemampuan

suatu bahan terhadap pembebanan dalam perubahan yang tetap. Harga kekerasan bahan tersebut dapat dianalisis dari besarnya beban yang diberikan terhadap luasan bidang yang

menerima pembebanan. Pengujian kekerasan logam ini secara garis besar ada tiga metode yaitu penekanan, goresan dan dinamik (Koswara, 1991). Pengujian kekerasan yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode penekanan yaitu Vickers.

METODE

Material yang digunakan dalam penelitian ini adalah baja karbon C1020 normalisasi dari American Iron and steel Institute (AISI) yang berarti C adalah hasil dapur open hearth steel, 10 adalah baja karbon biasa dan 20 adalah kandungan karbon 0,20 %. Spesimen uji tarik, foto struktur mikro dan kekerasan didasarkan pada standar JIS Z2201 No. 14. Urutan dalam penelitian ini dimulai dari uji komposisi bahan untuk mengetahui kandungan unsur di dalamnya yang digunakan untuk menentukan suhu pemanasan. Bahan dibentuk spesimen

sesuai standar yang ditentukan dan memenuhi persyaratan spesimen sejumlah 15 buah, yaitu masing-masing 3 buah sebagai pembanding utama (raw materials), sebagai kontrol hardening, untuk tempering suhu rendah, untuk tempering suhu sedang dan untuk tempering suhu tinggi. Perlakuan panas dilakukan dalam dapur pemanas, yang pertama yaitu proses hardening pada suhu 8250C (sesuai kadar karbon bahan). Spesimen selain raw

material dikenai proses ini, suhu pemanasan dilakukan bertahap mulai suhu kamar, suhu 1500C ditahan sekitar 15 menit, meningkat pada suhu 4500C, dilanjutkan suhu yang dituju yaitu 8250C. Pada suhu akhir ini dipertahankan selama 30 menit dengan maksud agar pemanasan benar-benar merata pada seluruh lapisan spesimen, kemudian dicelup dalam air yang mengalir agar spesimen benar-benar mengalami pendinginan kejut dan spesimen sampai benar-benar dingin.

Proses tempering merupakan pengulangan dari hardening yang didinginkan dengan perlahan. Spesimen yang dikenai tempering dimasukkan dalam dapur pemanas lalu distel dari suhu kamar ke suhu 2750C untuk perlakuan tempering suhu rendah, pendinginan dilakukan dalam udara bebas. Proses tempering suhu sedang pada suhu 4250C dan tempering suhu tinggi pada suhu 6000C, masing-masing ditahan selama 30 menit. Spesimen untuk foto struktur mikro dan kekerasan diratakan dan dihaluskan permukaannya

sampai memenuhi syarat spesimen, dietsa dengan larutan alkohol dan asam nitrat 2,5% kemudian dilihat dengan mikroskop logam. Pengujian kekerasan dilakukan dengan menggunakan metode Vickers, setiap spesimen dikenai dua titik penekanan. Pengujian tarik dilakukan untuk mengetahui kekuatan, keliatan dan regangan yang dimiliki bahan dari masingmasing perlakuan. Melalui pengujian ini dapat diketahui karakteristik bahan dari masing-masing perlakuan. Peralatan Penelitian Alat penelitian merupakan piranti bantu

dalam proses penelitian, yaitu:

a. Mesin bubut.

b. Mesin uji komposisi.

c. Dapur pemanas.

d. Mikroskop logam.

e. Mesin uji kekerasan.

f. Mesin uji tarik servopulser.

Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif, yang bertujuan untuk membuat suatu deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis faktual dan akurat mengenai faktor–faktor serta hubunganhubungan antar fenomena yang diselidiki atau diteliti. Pola eksperimen dilakukan dengan 3 buah spesimen untuk masing-masing kelompok perlakuan (treatment) yaitu untuk 3 kali kelompok eksperimen (3 variasi suhu) dan sekali untuk kelompok kontrol yaitu hardening serta sekali untuk kontrol utama atau raw materials. Teknik Pengumpulan Data Lembar pengamatan sangat diperlukan dalam suatu penelitian. Langkah ini akan mempermudah dalam proses pengolahan data selanjutnya. Wawancara dengan ahli metalurgi akan memberikan gambaran umum mengenai penelitian yang dilakukan, untuk itu perlu konsultasi dengan pakar/ahli metalurgi sebelum melakukan penelitian dan persiapan bahan serta instrumen lainnya. Analisis Data Teknik analisis data yang dipakai dalam penelitian ini menggunakan statistika deskriptif yang dilakukan dengan cara melukiskan dan merangkum pengamatan dari penelitian yang dilakukan. Data yang dihasilkan digambarkan secara grafis dalam histogram atau poligon frekuensi sehingga lebih mudah dibaca. Pengujian struktur mikro dilakukan dengan cara pengamatan, yaitu membandingkan hasil foto struktur mikro sehingga dapat dianalisis mengenai struktur, ukuran dan bentuk butiran dari masing-masing kelompok perlakuan. Foto makro bentuk penampang patahan juga

dapat dianalisis bentuk dan perambatan retak masing-masing perlakuan.

HASIL PENELITIAN

Berbagai macam jenis baja ditentukan berdasarkan pada unsur karbon yang terkandung dalam suatu material tersebut. Pengklasifikasian baja seperti dikemukakan oleh Khurmi (1980), bahwa baja karbon terbagi dalam empat klasifikasi yang terdiri dari dead mild steel

dengan kandungan unsur karbon 0 - 0,15 %, low carbon steel dengan kandungan unsur karbon 0,15 - 0,45 %, medium carbon steel dengan kandungan unsur karbon 0,45 - 0,80 % dan high carbon steel dengan kandungan unsur karbon 0,8 - 1,5 %. Berdasarkan pengklasifikasian material baja terhadap kandungan unsur karbon yang terkandung di dalamnya, maka dapat digeneralisasikan bahwa material baja karbon yang digunakan adalah baja karbon sedang (medium carbon steel). Seperti tercantum pada tabel 1.

Kekerasan

Pengujian kekerasan yang dilakukan menggunakan mesin Universal Hardness Tester yang bekas injakannya dilihat dengan mikroskop logam. Setiap spesimen dikenai tiga titik injakan yang menghasilkan data seperti pada gambar berikut ini:

VHN material baja karbon sedang sebesar 190. Setelah proses hardening meningkat 288,5 % menjadi sebesar 737,67, mengalami kenaikan 195,79 % setelah proses tempering 2750C menjadi sebesar 562, mengalami kenaikan 134,89 % setelah proses tempering 4250C sebesar 446,3, dan mengalami kenaikan 48,95 % setelah proses tempering 6000C menjadi

sebesar 283. Kekerasan spesimen hardening mengalami penurunan 23,81 % terhadap proses tempering 2750C, penurunan terjadi 39,5 % terhadap proses tempering 4250C dan terjadi penurunan 61,64 % terhadap proses tempering 6000C. Proses tempering 2750 kekerasannya mengalami penurunan 20,59 % terhadap proses tempering 4250C dan mengalami penurunan 49,64 % terhadap proses tempering 6000C, sedangkan kekerasan proses tempering 4250C mengalami penurunan 36,59 % terhadap proses tempering 6000C. Menurut Sato (1988) dalam pengujiannya pada material Fe 31 %wt dan Fe 29 %wt pada

kondisi temperatur 823’C, waktu 50 jam dan H2/N2 = 9 menunjukkan bahwa distribusi kekerasan mengalami penurunan setelah ketebalan 100 μ m dan kekerasan tertinggi dicapai pada material Fe 31 %wt

Foto Mikro

Struktur mikro raw materials dilihat dengan mikroskop logam untuk diambil gambarnya. Bahan yang digunakan mempunyai kandungan 0,473% berat karbon yang terdiri dari perlit dan ferit, dimana kandungan perlit sebesar 57,8% dan ferit 42,19%. Gambar di bawah ini menunjukkan pada bagian warna terang adalah ferit dan warna gelap adalah perlit.

Pada suhu 825 0C bahan sudah berada pada suhu austenit (g) yang pada proses pendinginan akan kembali menjadi ferit (a). Seluruh karbon baja tersebut larut dalam austenit (g), sedangkan ferit (a) hanya mampu melarutkan 0,025% karbon maka terbentuklah struktur ferit (a) diperlebar atau karbon dipaksa masuk/larut dalam ferit (a) atau sering disebut struktur martensit. Perlakuan tempering bertujuan mengubah martensit (hasil dari quenching) menjadi ferit dan karbida (M®a + C ).


Pada suhu 2750C pengendapan karbon dari martensit bukanlah sementit, tetapi epsilon (e) karbida yang kandungan karbonnya lebih tinggi dari sementit dengan senyawa kimianya 2 4 Fe C . Epsilon karbida merupakan martensit metastabil dengan ukuran partikel yang sangat halus sehingga kekerasan dan kekuatannya menurun dari proses hardening. Pada pemanasan dengan suhu 4250C menahan bentuk austenit ke bainit, bainit ini berbeda dari bainit biasanya. Bainit pada suhu ini terdiri dari ferit dan epsilon karbida. Keliatan meningkat oleh perlakuan ini sesuai dengan menurunnya kekuatan dan kekerasan bahan. Dengan adanya ferit bahan lebih lunak dari pada low temperature tempering. Pada suhu ini baja dapat menghasilkan sifat elastis yang maksimal. Proses tempering dengan suhu 6000C

sering disebut high temperature tempering yang menghasilkan bentuk campuran ferit dan sementit. Martensit berubah menjadi ferit dengan melepas karbonnya, sehingga karbon bebas larut dengan epsilon karbida yang akan kembali membentuk sementit. Struktur ini lebih kasar dari kedua perlakuan tempering sebelumnya, sehingga kekuatan dan kekerasannya menurun. Pengujian tarik dilakukan untuk mengetahui sifat-sifat mekanis dari material baja karbon sedang sebagai material uji dalam penelitian ini. Hasil pengujian tarik pada umumnya adalah parameter kekuatan tarik (ultimate strength) maupun luluh (yield strength), parameter keliatan/keuletan yang ditunjukkan dengan adanya prosen perpanjangan (elongation) dan prosen kontraksi atau reduksi penampang (reduction of area) maupun bentuk penampang patahannya

.

Data pengujian ini diperoleh dalam tiga kelompok pengujian yaitu spesimen raw materials, hasil proses hardening dan tempering Kekuatan tarik material baja karbon sedang sebesar 73,45 kg/mm2, setelah proses hardening menjadi 185,07 kg/mm2

atau mengalami peningkatan 151,96%. Setelah proses tempering 2750C menjadi sebesar 123,43 kg/mm2 atau meningkat 68,04%, setelah proses tempering 4250C

menjadi sebesar 114,14 kg/mm2 atau meningkat 55,4% dan setelah proses tempering 6000C menjadi sebesar 87,73 kg/mm2 atau mengalami peningkatan 19,44%.


Spesimen tanpa perlakuan mempunyai kekuatan luluh 46,34 kg/mm2, setelah proses hardening menjadi 90,035 kg/mm2 meningkat 94,29%. Setelah proses tempering 2750C menjadi sebesar 88,07 kg/mm2 atau meningkat 90,05%, setelah tempering 4250C menjadi 75,9 kg/mm2 atau meningkat 63,79% dan menjadi 70,84

kg/mm2 setelah tempering 6000C atau meningkat 52,87%.


Perpanjangan spesimen raw materials sebesar 23,43% menjadi 0,8% setelah proses hardening atau menurun 96,59%, setelah proses tempering 2750C menjadi sebesar 2,43% atau menurun 89,63%. Setelah proses tempering 4250C menjadi sebesar 11,48% atau menurun 51% dan setelah proses tempering 6000C menjadi sebesar 15,39% atau menurun 34,31%. Gambar 6. Prosen perpanjangan Sedangkan kontraksi spesimen raw materials sebesar 50,57%, menjadi sebesar 2,53% setelah proses hardening atau menurun 94,99%. Setelah proses tempering 2750C menjadi sebesar 8,5% atau menurun 83,19%, setelah proses tempering 4250C menjadi sebesar 38,09% atau menurun 24,68% dan setelah proses tempering 6000C kontraksi menjadi 49,53% atau menurunan 2,05%.

Bentuk Penampang Patahan

Treatment dengan proses tempering pada suhu 2750C menghasilkan bentuk patahan star fracture dengan tekstur kristalin, sekilas tampak rata (flat) tetapi terdapat sobekan tak beraturan di pinggir diameter ukur dan butirannya seperti kristal. Bentuk penampang patahan pada spesimen dengan proses tempering suhu

4250C adalah partial cup-cone dengan butiran halus, menujukkan bahan mempunyai perpanjangan atau mulai mempunyai keuletan sehingga harga


kekuatan dan kekerasannya sedikit menurun. Proses tempering dengan suhu pemanasan 6000C memperoleh penampang patahan yang berbentuk partial cup-cone dengan butiran agak kasar, menunjukkan perpanjangan bahan lebih besar dari pada kedua proses tempering sebelumnya.

PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN

Data hasil penelitian yang ditabulasikan dalam bentuk diagram batang dan gambar struktur mikro serta penampang patahan diketahui ada perbedaan karakteristik kekuatan tarik statis dari spesimen penelitian antara raw materials, proses hardening dengan suhu 8250C dan yang mengalami proses tempering dengan variasi suhu pemanasan: 2750C, 4250C dan 6000C yang menggunakan waktu penahanan 30 menit. Hasil kekuatan tarik pada kelompok spesimen raw materials sebesar 73,45

kg/mm2 dengan VHN sebesar 190, berpenampang patah partial cup-cone tekstur granular yang menandakan bahan mempunyai keuletan sehingga perpanjangan dan reduksi penampangnya besar. Strukturnya terdiri dari ferit dan perlit, karena mempunyai kandungan 0,473 % berat karbon. Peningkatan kekerasan dan kekuatan bahan akan dapat dicapai dengan proses hardening. Proses hardening menghasilkan bahan dengan kekuatan tarik 185,07 kg/mm2 dengan kekerasan sangat tinggi, yaitu VHN sebesar 737,67. Harga ini sangat tinggi sehingga penampang patahnya berbentuk flat dengan butiran halus, berarti kekuatan tariknya besar sehingga keuletan (perpanjangan dan reduksi penampang) hampir tidak ada. Kekuatan semakin besar sudah pasti kekerasannya juga tinggi, karena struktur yang terbentuk setelah dicelup adalah martensit. Struktur martensit mempunyai kelemahan yaitu getas, sehingga harus di-temper agar dapat dipakai dalam peralatan maupun konstruksi mesin yang mensyaratkan keuletan. Kelompok spesimen tempering dengan suhu 2750C (low temperature tempering) mempunyai kekuatan tarik sebesar 123,43 kg/mm2 dengan VHN sebesar 562, perpanjangan dan reduksi penampang mulai ada sehingga keuletan bahan sedikit bertambah. Pemanasan pada suhu ini menghasilkan epsilon karbida yang sangat halus sehingga kekerasan dan kekuatannya turun dari pada proses hardening, penampang patah terlihat rata (flat) tetapi pada pinggirannya terdapat sobekan yang

tidak teratur dan sering disebut star fracture dengan tekstur kristalin karena bagian kulitnya mulai lunak. Proses tempering 4250C (medium temperature tempering) mempunyai kekuatan tarik dan kekerasan sebesar 114,14 kg/mm2 dengan VHN sebesar 446,3. Nilai perpanjangan dan reduksi penampang bertambah besar, sehingga penampang patahannya berbentuk partial yang terbentuk adalah bainit yang terdiri dari ferit dan epsilon karbida, sehingga kekerasan mengalami penurunan dari proses sebelumnya.

Suhu temper dinaikkan sampai 6000C (high temperature tempering) akan mengubah martensit menjadi ferit dan sementit, dengan lepasnya karbon dari martensit dan bergabung dengan epsilon karbida yang membentuk sementit lagi. Perpanjangan bertambah berarti keuletan bahan naik dan kekuatan tariknya turun,

sehingga penampang patahan akan membentuk partial cup-cone dengan butiran lebih kasar lagi. Kekuatan tarikmenjadi sebesar 87,73 kg/mm2 dengan VHN sebesar 283. Dengan melihat analisis data yang telah diperoleh di atas menunjukkan bahwa

perubahan suhu temper sangat mempengaruhi karakteristik baja karbon sedang ditinjau dari kekuatan tarik, kekuatan luluh, perpanjangan, reduksi penampang, struktur mikro, penampang patahan dan kekerasannya. Fenomena semacam ini menunjukkan bahwa dengan proses hardening bahan akan sangat kuat dan keras tetapi cenderung getas sehingga perpanjangan dan reduksi penampang hampir tidak ada dan bentuk penampang patahnya flat. Spesimen mengalami penurunan kekuatan tarik dan kekerasan jika dilanjutkan pada proses tempering, perpanjangan dan reduksi penampangnya mulai ada walaupun sedikit serta bentuk penampang patahnya tidak lagi flat. Semakin tinggi suhu tempering maka kekuatan tarik semakin menurun karena butiran yang terbentuk semakin kasar yang menjadikan ikatan antar butir berkurang, perpanjangan dan reduksi penampangnya semakin meningkat sehingga bentuk patahannya menuju cup cone. Artinya bahan akan semakin liat dengan kekerasan yang sedikit berkurang.

KESIMPULAN

Besarnya harga kekuatan tarik raw materials adalah 73,45 kg/mm2 dengan VHN sebesar 190, sedangkan setelah proses hardening menjadi 185,07 kg/mm2 dengan VHN sebesar 737,67. Tempering 2750C menghasilkan 123,43 kg/mm2 dan VHN sebesar 562, sedangkan 114,14 kg/mm2 dan VHN sebesar 446,3 dihasilkan pada suhu 4250C dan pada suhu 6000C menjadi 87,73 kg/mm2 dan VHN sebesar 283. Beberapa saran yang dapat diberikan adalah perlu adanya penelitian lanjut melihat efek tegangan dalamnya (internal stress), pengamatan permukaan perpatahan dengan fraktografi (Scanning Electron Microscope) dan lain-lain.

Keramik Superkonduktor

SUPERKONDUKTOR

Superkonduktivitas suatu bahan bukanlah hal yang baru. Sifat ini diamati untuk yang pertama kalinya pada tahun 1911 oleh fisikawan Belanda H.K. Onnes, yaitu ketika ia

menemukan bahwa air raksa murni yang didinginkan dengan helium cair ( suhu 4,2 K) kehilangan seluruh resistansi listriknya. Sejak itu harapan untuk menciptakan alat-alat listrik yang ekonomis terbuka lebar-lebar. Bayangkan, dengan resistansinya yang nol itu superkonduktor dapat menghantarkan arus listrik tanpa kehilangan daya sedikitpun, kawat superkonduktor tidak akan menjadi panas dengan lewatnya arus listrik. Kendala terbesar yang masih menghadang terapan superkonduktor dalam peralatan praktis sehari-hari adalah bahwa superkonduktivitas bahan barulah muncul pada suhu yang amatrendah, jauh di bawah 0 °C! Dengan demikian niat penghematan pemakaian daya listrik masih harus bersaing dengan biaya pendinginan yang harus dilakukan. Oleh sebab itulah para ahli sampai sekarang terus berlomba-lomba menemukan bahan superkonduktor yang dapat beroperasi pada suhu tinggi, kalau bisa ya pada suhu kamar.

SUHU KRITIK

Perubahan watak bahan dari keadaan normal ke keadaan superkonduktor dapat dianalogikan misalnya dengan perubahan fase air dari keadaan cair ke keadaan padat.

Perubahan watak seperti ini sama-sama mempunyai suatu suhu transisis, pada transisi

superkonduktor suhu ini disebut sebagai suhu kritik Tc, pada transisi fase ada yang disebut titik didih (dari fase cair ke gas) dan titik beku (dari fase cair ke padat). Pada transisi feromagnetik suhu transisinya disebut suhu Curie. Besaran fisis yang berkaitan dengan transisi superkonduktor adalah resistivitas bahan, mari kita lihat grafik resistivitas sebagai fungsi suhu mutlak pada gambar 1.

Pada suhu T > Tc bahan dikatakan berada dalam keadaan normal, ia memiliki Resistansi listrik. Transisi ke keadaan normal ini bukan selalu berarti menjadi konduktor biasa yang baik, pada umumnya malah menjadi penghantar yang jelek, bahkan ada yang ekstrim menjadi isolator! Untuk suhu T <>c bahan berada dalam keadaan superkonduktor. Di dalam eksperimen, pengukuran resistivitasnya dilakukan dengan menginduksi suatu sampel bahan berbentuk cincin, ternyata arus listrik yang terjadi dapat bertahan sampai bertahun-tahun. Resistivitasnya yang terukur tidak akan melebihi 10-25 ohm.meter, sehingga cukup beralasan bila resistivitasnya dikatakan sama dengan nol. Perkembangan bahan superkonduktor dari saat pertama kali ditemukan sampai sekarang dapat diikuti pada tabel di bawah ini.

Keluarga superkonduktor yang terdiri dari unsur-unsur tunggal yang dipelopori oleh temuan Onnes, disebut superkonduktor tipe I atau superkonduktor konvensional, ada kira-kira 27 jenis dari tipe ini. Suatu hal yang menarik, bahwa unsur-unsur yang pada suhu kamar merupakan konduktor banyak diantara mereka yang tidak memiliki sifat superkonduktor pada suhu rendah, contohnya tembaga, perak dan golongan alkali. Pada tahun 1960-an lahirlah keluarga superkonduktor tipe II, yang biasanya berupa kombinasi unsur molybdenum (Mo), niobium (Nb), timah (Sn), vanadium (V), germanium (Ge), indium (In) atau galium (Ga). Sebagian merupakan senyawa, sebagian lagi merupakan larutan padatan. Sifatnya agak berbeda dengan tipe I karena suhu kritiknya relatif lebih tinggi, sehingga tipe II ini sering disebut superkonduktor yang alot. Semua alat yang telah menerapkan superkonduktor dewasa ini menggunakan bahan tipe II ini, alasannya akan menjadi jelas kemudian. Pada tahun 1985 di laboratorium riset IBM di Zurich, A.Muller dan G.Bednorz memulai era baru bagi ilmu bahan superkonduktor. Mereka menemukan bahwa senyawa keramik tembaga oksida dapat memiliki sifat superkonduktor pada suhu yang relatif tinggi, rekor suhu kritik yang saat ini sudah mencapai 125 K juga dipegang oleh golongan ini. Perkembangan selanjutnya tampak agak seret, para ahli sendiri masih meributkan ada tidaknya batas suhu kritik yang mungkin dicapai. Ahli riset di Institut Teknologi California meramalkan bahwa suhu kritik superkonduktivitas tidak akan pernah melampaui 250 K, jadi masih cukup jauh di bawah suhu kamar. Apakah benar demikian, kita tunggu saja hasil-hasil penelitian berikutnya.


MEDAN MAGNET KRITIK

Tinggi rendahnya suhu transisi Tc dipengaruhi banyak faktor. Seperti tekanan yang dapat menurunkan titik beku air, suhu kritik superkonduktor juga bisa turun dengan hadirnya medan magnet yang cukup kuat. Kuat medan magnet yang menentukan harga Tc ini disebut medan kritik (Hc). Kita lihat grafik ketergantungan Tc terhadap kuat medan magnet pada gambar2. Walaupun Pb bersuhu kritik normal (tanpa medan magnet) 7,2 K, apabila ia dikenai medan H = 4,8 ´ 104 A/m misalnya, suhu kritiknya turun menjadi 4 K. Artinya dengan medan sbesar itu pada suhu 5 K pun Pb masih bersifat normal. Medan kritiknya ini dapat dinyatakan dengan persamaan :

Hc (0) adalah harga maksimum Hc yaitu harga pada suhu 0 K. Medan kritik ini tidak harus berasal dari luar, tapi juga bisa ditimbulkan oleh medan internal, yaitu jika ia diberi aliran arus listrik. Untuk superkonduktor berbentuk kawat beradius r, arus kritiknya dinyatakan oleh aturan Silsbee :

Jadi pada suhu tertentu ( T <>c ) , bahan superkonduktor memiliki ketahanan yang terbatas terhadap medan magnet dari luar dan arus listrik yang bisa diangkutnya. Kalau harga-harga kritik ini dilampaui, sifat superkonduktor bahan akan lenyap dengan sendirinya. Ambil contoh untuk kawat Pb beradius 1 mm pada suhu 4 K, agar ia tetap bersifat superkonduktor ia tidak boleh menerima medan magnet lebih besar dari 48000 A/m atau mengangkut arus listrik lebih dari 300 A. Pada ukuran dan suhu yang sama Nb3Sn mampu mengangkut 12500 A, oleh sebab itulah secara teknis superkonduktor tipe II lebih baik pakai. Sebagai perbandingan YBCO pada suhu 77 K dapat mengangkut arus sebesar 530 A, cukup lumayan! Naiknya suhu operasi mempunyai nilai ekonomis, karena biaya pendinginan menjadi lebih murah dibandingkan helium cair (untuk menjaga suhu 4 K). Satu liter He harganya US$ 4 (Rp.7000) sedangkan satu liter N2 cuma 25 cent (Rp.450), padahal dalam prakteknya penguapan 1 liter N2 setara dengan penguapan 25 liter He.

EFEK MEISSNER

Sifat kemagnetan superkonduktor diamati oleh Meissner dan Ochsenfeld pada tahun 1933, ternyata superkonduktor berkelakuan seperti bahan diamagnetiksempurna, ia menolak medan magnet sehingga ia pun dapat mengambang di atas sebuah magnet tetap. Jadi kerentanan magnetnya (susceptibility) c = -1, bandingkan dengan konduktor biasa yang c = -10-5. Fenomena ini disebut efek Meissner yang tersohor itu.

Jadi satu keunggulan lagi bagi superkonduktor terhadap konduktor biasa. Ia tidak saja menjadi perisai terhadap medan listrik, tapi juga terhadap medan magnet, artinya medan listik dan magnet sama dengan nol di dalam bahan superkonduktor. Tetapi pada tahun 1935 London bersaudara melalui penelitian sifat elektrodinamik superkonduktor mendapatkan bahwa intensitas medan magnet masih dapat menembus

bahan superkonduktor walaupun hanya sebatas permukaan saja, ordenya hanya beberapa ratus angstrom. Sifat rembesan ini dinyatakan oleh parameter l yang disebut kedalaman rembesan London. Medan magnet ternyata berkurang secara eksponensial terhadap kedalaman sesuai dengannya.

Bo adalah medan di luar dan x adalah kedalamannya. l membesar dengan naiknya suhu, di Tc harga l tak berhingga besar, sehingga medan magnet mampu menerobos ke seluruh bagian bahan tersebut atau dengan perkataan lain sifat superkonduktor telah hilang digantikan dengan keadaan normalnya. Teori London ini juga memberikan kesimpulan bahwa dalam bahan supekonduktor arus listrik akan mengalir di bagian permukaannya saja. Hal ini berbeda dengan arus listrik dalam konduktor biasa yang mengalir secara merata di seluruh bagian konduktor. Perbandingan watak magnetik pada keadaan normal, superkonduktor tipe I dan tipe II adalah seperti pada gambar 3.

Pada tipe ii terdapat daerah peralihan yaitu antara Hcl dan Hc , pada saat itu struktur bahan terjadi dari daerah normal yang berupa silinder-silinder kecil, disebut fluksoid karena bisa diterobos fluks magnet, yang dikelilingi sepenuhnya oleh daerah superkonduktor.

TEORI BCS

Teori tentang superkonduktor yang lebih terinci melibatkan mekanika kuantum yang dalam, diajukan oleh Barden, Cooper dan Schrieffer pada tahun 1975 dikenal sebagai teori BCS yang akhirnya memenangkan hadiah Nobel pada tahun 1972. Dalam teori ini dikatakan bahwa elektron-elektron dalam superkonduktor selalu dalam keadaan berpasang-pasangan dan seluruhnya berada dalam keadaan kuantum yang sama, pasangan-pasangan ini disebut pasangan Cooper. Kita bandingkan dengan elektron konduksi dalam konduktor biasa. Di sini elektron bergerak sendiri-sendiri dan akan kehilangan sebagian energinya jika ia terhambur oleh kotoran (impurities) atau oleh phonon, phonon adalah kuantum energi getaran kerangka (lattice) kristal bahan. Elektron tersebut akan menimbulkan distorsi terhadap kerangka kristal sehingga menimbulkan daerah tarikan. Tarikan ini dalam superkonduktor pada suhu rendah bisa mengalahkan tolakan Coulomb antar elektron, sehingga dengan ukar menukar phonon dua elektron justru akan membentuk ikatan menjadi pasangan Cooper. Oleh karena keadaan kuantum mereka semuanya sama, suatu elektron tidak dapat terhambur tanpa mengganggu pasangannya, padahal pada suhu T <>c getaran kerangka tidak memiliki cukup energi untuk mematahkan ikatan pasangan tersebut. Akibatnya mereka tahan terhadap hamburan, jadilah bahan tersebut superkonduktor.

SUPERKONDUKTOR KERAMIK

Bahan superkonduktor suhu tinggi yang memiliki bahan dasar keramik secara teoritis belum dapat dijelaskan tuntas. Ia tidak bisa digolongkan ke dalam tipe I maupun II karena ada beberapa sifatnya yang unik. Bentuk kristalnya termasuk golongan perovskite, suatu bentuk kristal kubus yang cukup populer. Rumus umum molekul perovskite adalah ABX3 , dimana A dan B adalah kaiton logam dan X adalah anion non logam. Banyak bahan elektronis yang memiliki bentuk perovskite ini, misalnya PbTiO3 dan PbZrO3 yang bersifat piezoelektrik kuat sehingga baik digunakan untuk pressure-gauge. Superkonduktor suhu tinggi ini ternyata berupa perovskite yang cacat. Misalnya YBCO yang ditemukan oleh Chu Chingwu cs. dari Universitas Houston berbentuk 3 kubus perovskite dengan rumus molekul YBa2Cu3O6,5 , yang menunjukkan defisiensi atom oksigen sebagai anionnya (mestinya ada 9 atom). Nama lain untuk YBCO ini adalah 1-2-3, menunjukkan perbandingan cacah atom Y, Ba dan Cu di dalam kristalnya. Atom-atom tembaganya terletak pada suatu lapisan inilah arus listrik lewat dalam bahan YBCO. Struktur yang demikian memiliki andil yang besar bagi sifat superkonduktivitas suhu tinggi, terbukti senyawa barium-kalium-bismuth-oksida buatan AT & T Bell Laboratoies (1988) cuma memiliki Tc = 30 K, senyawa ini tentu saja tidak memiliki atom tembaga sebagai lapisan penghantar elektron. Elektron-elektron juga dalam keadaan berpasangan, hal ini telah dibuktikan dengan dijumpainya flukson yang merembes di dalamnya. Flukson adalah kuantum fluks magnetik dalam superkonduktor, besarnya kira-kira 2 x 10-15 weber, dalam perhitungan besarnya ini bersesuaian dengan kehadiran partikel bermuatan listrik dua kali muatan elektron. Watak-wataknya yang masih perlu penjelasan teoritis adalah tarikan antar elektron dalam pasangan Cooper yang ternyata masih cukup kuat walaupun suhu transisinya tinggi. Padahal suhu yang tinggi menyebabkan bertambahnya cacah phonon, sehingga ikatan elektron itu seharusnya akan hancur karenanya. dalam kaitan ini peranan kerangka kristal harus kembali dipertanyakan. Mungkin saja kotoran di dalamnya yang justru mampu meredam interaksi phonon atau gangguan-gangguan lain termasuk medan magnet yang besar agar ia tetap stabil sebagai superkonduktor. Sifat lain yang tidak menguntungkan dari YBCO adalah mudahnya ia melepaskan oksigen ke lingkungannya, padahal dengan berkurangnya atom oksigen sifat superkonduktornya akan hilang. Lagi pula ia terlalu rapuh untuk dibentuk menjadi kawat. Lebih jauh lagi Philip W. Anderson (pemenang hadiah Nobel 1977 bidang Fisika) mengemukakan peranan besaran spin dalam fenomena superkonduktor suhu tinggi ini, pernyataan ini telah didukung oleh data percobaan MIT oleh RJ Birgeneau. Sungguh merupakan sebuah tantangan besar bagi para ahli dari berbagai bidang untuk memahami lebih jauh fenomena superkonduktor jenis baru ini. Tampaknya bahan ini akan semakin merajai teknologi pada masa yang akan datang, yaitu abad XXI.