Minggu, 25 Mei 2008

PENGARUH TEMPERATUR PEMANASAN

Pemakaian baja dalam kehidupan mensyaratkan beberapa faktor seperti kekuatan, kekerasan, tahan panas, tidak cepat aus, dan sebagainya. Banyak upaya untuk meningkatkan kualitas baja yang salah satunya dengan proses perlakuan panas (heat treatment). Proses Hardening mampu meningkatkan kekerasan dan kekuatan baja, tetapi baja yang telah dikeraskan bersifat rapuh dan tidak cocok untuk digunakan sehingga perlu pengerjaan lanjut yaitu dengan tempering. Pengujian dilakukan baik pada sifat fisis ( komposisi, struktur mikro dan fotomakro) maupun sifat mekanis (kekerasan dan kekuatan tarik).

Hasil penelitian memperoleh kekuatan tarik raw materials sebesar 73,45 kg/mm2 dengan VHN sebesar 190, setelah mengalami proses hardening 8250C kekuatan tarik menjadi 185,07 kg/mm2 dengan VHN sebesar 737,67. Low tempering

berkekuatan tarik 123,43 kg/mm2 dengan VHN sebesar 562, medium tempering mempunyai kekuatan tarik 114,14 kg/mm2 dengan VHN sebesar 446,3 sedangkan

high tempering berkekuatan tarik 87,73 kg/mm2 dengan VHN sebesar 283. Semakin tinggi suhu pemanasan pada proses tempering kekuatan tarik dan kekerasan semakin menurun, sebaliknya keuletannya meningkat sehingga disesuaikan dengan keperluan.

Pemakaian baja dalam kehidupan mensyaratkan faktor keuletan, kekerasan, tahan aus dan sebagainya. Peningkatan kualitas baja ini dapat dilakukan dengan penambahan unsur paduan atau dengan perlakuan panas. Perlakuan panas (heat treatment) pada baja mempunyai peran yang sangat penting dalam upaya mendapatkan sifat-sifat tertentu yang

diinginkan sesuai dengan kebutuhan. Proses ini meliputi pemanasan baja pada suhu tertentu dan dipertahankan pada waktu tertentu serta didinginkan pada media tertentu pula. Perlakuan panas mempunyai tujuan untuk meningkatkan keuletan, menghilangkan tegangan internal (internal stress), menghaluskan ukuran butir kristal dan meningkatkan kekerasan atau tegangan tarik logam. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi perlakuan

panas, yaitu suhu pemanasan, waktu yang diperlukan pada suhu pemanasan, laju pendinginan dan lingkungan atmosfir. Menurut Fox (1999), bahwa fatigue crack growth rate (FCGR) pada material Ti 24 yang diuji pada temperatur 723’C di dalam argon lebih tinggi dibandingkan dengan didalam temperetur ruang. Baja yang telah dikeraskan (quench) bersifat rapuh dan tidak cocok untuk digunakan, akibat pengejutan akan menjadi sangat keras (sekeras gelas) dan getas. Melalui proses tempering kekerasan dan kerapuhan dapat diturunkan sampai memenuhi persyaratan penggunaan karena beban yang kecil saja akan mengakibatkan pecah. Proses ini bertujuan untuk mendapatkan baja yang keras dan ulet atau tercapainya keuletan setinggi-tingginya pada kekerasan yang memadai, sebab sebagian kekerasan baja akan berkurang oleh proses pemanasan, contohnya pada pahat, palu, mata bor, tap dan sebagainya. Berdasarkan uraian di atas permasalahan utama yang akan diungkap dalam penelitian ini adalah: berapa besar kekuatan tarik baja C1045 akibat

perubahan suhu pemanasan pada proses tempering.

Perlakuan untuk menghilangkan tegangan dalam dan menguatkan baja dari kerapuhan isebut dengan memudakan (tempering). Tempering didefinisikan sebagai proses pemanasan logam setelah dikeraskan pada temperatur tempering (di bawah suhu kritis), yang dilanjutkan dengan proses pendinginan (Koswara, 1999). Prosesnya adalah memanaskan kembali berkisar antara suhu 150 – 6500C dan didinginkan secara perlahan-lahan tergantung sifat akhir baja tersebut, menurut Schonmetz (1985) tujuan proses tempering dibedakan sebagai berikut:

a. Tempering pada suhu rendah (150- 300oC) Perlakuan ini hanya untuk mengurangi tegangan-tegangan kerut dan kerapuhan dari baja, biasanya untuk alat-alat kerja yang tidak mengalami beban berat seperti alat-alat potong,

mata bor dan sebagainya.

b. Tempering suhu menengah (300- 550oC) Bertujuan untuk menambah keuletan,

dan kekerasannya sedikit berkurang. Proses ini digunakan pada alat-alat kerja yang mengalami beban berat, misalnya palu, pahat, pegas.

c. Tempering pada suhu tinggi (550- 650oC) Tempering pada suhu tinggi bertujuan

untuk memberikan daya keuletan yang besar dan sekaligus kekerasannya menjadi agak rendah, misalnya pada roda gigi, poros, batang penggerak dan sebagainya.

Pengujian tarik dilakukan untuk mengetahui sifat-sifat mekanis suatu logam dan paduannya. Pengujian ini paling sering dilakukan karena merupakan dasar pengujian-pengujian dan studi mengenai kekuatan bahan. Hasil yang diperoleh dari proses pengujian tarik adalah grafik tegangan-regangan, parameter kekuatan dalam dan keliatan material pengujian dalam prosen perpanjangan, kontraksi dan bentuk permukaan patahannya. Bentuk penampang patah dapat diklasifikasikan menurut bentuk tesktur dan warna. Jenis-jenis perpatahan mengenai bentuknya adalah simetri, kerucut mangkok (cup cone), rata (flat), dan tak teratur (irregular). Bermacam-macam deskripsi tekstur adalah silky (seperti sutera), butir halus, butir kasar atau granular, berserat (fibrous), kristalin, seperti kaca (glassy) dan pudar. Proses pengujian logam kekerasan dapat diartikan sebagai kemampuan

suatu bahan terhadap pembebanan dalam perubahan yang tetap. Harga kekerasan bahan tersebut dapat dianalisis dari besarnya beban yang diberikan terhadap luasan bidang yang

menerima pembebanan. Pengujian kekerasan logam ini secara garis besar ada tiga metode yaitu penekanan, goresan dan dinamik (Koswara, 1991). Pengujian kekerasan yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode penekanan yaitu Vickers.

METODE

Material yang digunakan dalam penelitian ini adalah baja karbon C1020 normalisasi dari American Iron and steel Institute (AISI) yang berarti C adalah hasil dapur open hearth steel, 10 adalah baja karbon biasa dan 20 adalah kandungan karbon 0,20 %. Spesimen uji tarik, foto struktur mikro dan kekerasan didasarkan pada standar JIS Z2201 No. 14. Urutan dalam penelitian ini dimulai dari uji komposisi bahan untuk mengetahui kandungan unsur di dalamnya yang digunakan untuk menentukan suhu pemanasan. Bahan dibentuk spesimen

sesuai standar yang ditentukan dan memenuhi persyaratan spesimen sejumlah 15 buah, yaitu masing-masing 3 buah sebagai pembanding utama (raw materials), sebagai kontrol hardening, untuk tempering suhu rendah, untuk tempering suhu sedang dan untuk tempering suhu tinggi. Perlakuan panas dilakukan dalam dapur pemanas, yang pertama yaitu proses hardening pada suhu 8250C (sesuai kadar karbon bahan). Spesimen selain raw

material dikenai proses ini, suhu pemanasan dilakukan bertahap mulai suhu kamar, suhu 1500C ditahan sekitar 15 menit, meningkat pada suhu 4500C, dilanjutkan suhu yang dituju yaitu 8250C. Pada suhu akhir ini dipertahankan selama 30 menit dengan maksud agar pemanasan benar-benar merata pada seluruh lapisan spesimen, kemudian dicelup dalam air yang mengalir agar spesimen benar-benar mengalami pendinginan kejut dan spesimen sampai benar-benar dingin.

Proses tempering merupakan pengulangan dari hardening yang didinginkan dengan perlahan. Spesimen yang dikenai tempering dimasukkan dalam dapur pemanas lalu distel dari suhu kamar ke suhu 2750C untuk perlakuan tempering suhu rendah, pendinginan dilakukan dalam udara bebas. Proses tempering suhu sedang pada suhu 4250C dan tempering suhu tinggi pada suhu 6000C, masing-masing ditahan selama 30 menit. Spesimen untuk foto struktur mikro dan kekerasan diratakan dan dihaluskan permukaannya

sampai memenuhi syarat spesimen, dietsa dengan larutan alkohol dan asam nitrat 2,5% kemudian dilihat dengan mikroskop logam. Pengujian kekerasan dilakukan dengan menggunakan metode Vickers, setiap spesimen dikenai dua titik penekanan. Pengujian tarik dilakukan untuk mengetahui kekuatan, keliatan dan regangan yang dimiliki bahan dari masingmasing perlakuan. Melalui pengujian ini dapat diketahui karakteristik bahan dari masing-masing perlakuan. Peralatan Penelitian Alat penelitian merupakan piranti bantu

dalam proses penelitian, yaitu:

a. Mesin bubut.

b. Mesin uji komposisi.

c. Dapur pemanas.

d. Mikroskop logam.

e. Mesin uji kekerasan.

f. Mesin uji tarik servopulser.

Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif, yang bertujuan untuk membuat suatu deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis faktual dan akurat mengenai faktor–faktor serta hubunganhubungan antar fenomena yang diselidiki atau diteliti. Pola eksperimen dilakukan dengan 3 buah spesimen untuk masing-masing kelompok perlakuan (treatment) yaitu untuk 3 kali kelompok eksperimen (3 variasi suhu) dan sekali untuk kelompok kontrol yaitu hardening serta sekali untuk kontrol utama atau raw materials. Teknik Pengumpulan Data Lembar pengamatan sangat diperlukan dalam suatu penelitian. Langkah ini akan mempermudah dalam proses pengolahan data selanjutnya. Wawancara dengan ahli metalurgi akan memberikan gambaran umum mengenai penelitian yang dilakukan, untuk itu perlu konsultasi dengan pakar/ahli metalurgi sebelum melakukan penelitian dan persiapan bahan serta instrumen lainnya. Analisis Data Teknik analisis data yang dipakai dalam penelitian ini menggunakan statistika deskriptif yang dilakukan dengan cara melukiskan dan merangkum pengamatan dari penelitian yang dilakukan. Data yang dihasilkan digambarkan secara grafis dalam histogram atau poligon frekuensi sehingga lebih mudah dibaca. Pengujian struktur mikro dilakukan dengan cara pengamatan, yaitu membandingkan hasil foto struktur mikro sehingga dapat dianalisis mengenai struktur, ukuran dan bentuk butiran dari masing-masing kelompok perlakuan. Foto makro bentuk penampang patahan juga

dapat dianalisis bentuk dan perambatan retak masing-masing perlakuan.

HASIL PENELITIAN

Berbagai macam jenis baja ditentukan berdasarkan pada unsur karbon yang terkandung dalam suatu material tersebut. Pengklasifikasian baja seperti dikemukakan oleh Khurmi (1980), bahwa baja karbon terbagi dalam empat klasifikasi yang terdiri dari dead mild steel

dengan kandungan unsur karbon 0 - 0,15 %, low carbon steel dengan kandungan unsur karbon 0,15 - 0,45 %, medium carbon steel dengan kandungan unsur karbon 0,45 - 0,80 % dan high carbon steel dengan kandungan unsur karbon 0,8 - 1,5 %. Berdasarkan pengklasifikasian material baja terhadap kandungan unsur karbon yang terkandung di dalamnya, maka dapat digeneralisasikan bahwa material baja karbon yang digunakan adalah baja karbon sedang (medium carbon steel). Seperti tercantum pada tabel 1.

Kekerasan

Pengujian kekerasan yang dilakukan menggunakan mesin Universal Hardness Tester yang bekas injakannya dilihat dengan mikroskop logam. Setiap spesimen dikenai tiga titik injakan yang menghasilkan data seperti pada gambar berikut ini:

VHN material baja karbon sedang sebesar 190. Setelah proses hardening meningkat 288,5 % menjadi sebesar 737,67, mengalami kenaikan 195,79 % setelah proses tempering 2750C menjadi sebesar 562, mengalami kenaikan 134,89 % setelah proses tempering 4250C sebesar 446,3, dan mengalami kenaikan 48,95 % setelah proses tempering 6000C menjadi

sebesar 283. Kekerasan spesimen hardening mengalami penurunan 23,81 % terhadap proses tempering 2750C, penurunan terjadi 39,5 % terhadap proses tempering 4250C dan terjadi penurunan 61,64 % terhadap proses tempering 6000C. Proses tempering 2750 kekerasannya mengalami penurunan 20,59 % terhadap proses tempering 4250C dan mengalami penurunan 49,64 % terhadap proses tempering 6000C, sedangkan kekerasan proses tempering 4250C mengalami penurunan 36,59 % terhadap proses tempering 6000C. Menurut Sato (1988) dalam pengujiannya pada material Fe 31 %wt dan Fe 29 %wt pada

kondisi temperatur 823’C, waktu 50 jam dan H2/N2 = 9 menunjukkan bahwa distribusi kekerasan mengalami penurunan setelah ketebalan 100 μ m dan kekerasan tertinggi dicapai pada material Fe 31 %wt

Foto Mikro

Struktur mikro raw materials dilihat dengan mikroskop logam untuk diambil gambarnya. Bahan yang digunakan mempunyai kandungan 0,473% berat karbon yang terdiri dari perlit dan ferit, dimana kandungan perlit sebesar 57,8% dan ferit 42,19%. Gambar di bawah ini menunjukkan pada bagian warna terang adalah ferit dan warna gelap adalah perlit.

Pada suhu 825 0C bahan sudah berada pada suhu austenit (g) yang pada proses pendinginan akan kembali menjadi ferit (a). Seluruh karbon baja tersebut larut dalam austenit (g), sedangkan ferit (a) hanya mampu melarutkan 0,025% karbon maka terbentuklah struktur ferit (a) diperlebar atau karbon dipaksa masuk/larut dalam ferit (a) atau sering disebut struktur martensit. Perlakuan tempering bertujuan mengubah martensit (hasil dari quenching) menjadi ferit dan karbida (M®a + C ).


Pada suhu 2750C pengendapan karbon dari martensit bukanlah sementit, tetapi epsilon (e) karbida yang kandungan karbonnya lebih tinggi dari sementit dengan senyawa kimianya 2 4 Fe C . Epsilon karbida merupakan martensit metastabil dengan ukuran partikel yang sangat halus sehingga kekerasan dan kekuatannya menurun dari proses hardening. Pada pemanasan dengan suhu 4250C menahan bentuk austenit ke bainit, bainit ini berbeda dari bainit biasanya. Bainit pada suhu ini terdiri dari ferit dan epsilon karbida. Keliatan meningkat oleh perlakuan ini sesuai dengan menurunnya kekuatan dan kekerasan bahan. Dengan adanya ferit bahan lebih lunak dari pada low temperature tempering. Pada suhu ini baja dapat menghasilkan sifat elastis yang maksimal. Proses tempering dengan suhu 6000C

sering disebut high temperature tempering yang menghasilkan bentuk campuran ferit dan sementit. Martensit berubah menjadi ferit dengan melepas karbonnya, sehingga karbon bebas larut dengan epsilon karbida yang akan kembali membentuk sementit. Struktur ini lebih kasar dari kedua perlakuan tempering sebelumnya, sehingga kekuatan dan kekerasannya menurun. Pengujian tarik dilakukan untuk mengetahui sifat-sifat mekanis dari material baja karbon sedang sebagai material uji dalam penelitian ini. Hasil pengujian tarik pada umumnya adalah parameter kekuatan tarik (ultimate strength) maupun luluh (yield strength), parameter keliatan/keuletan yang ditunjukkan dengan adanya prosen perpanjangan (elongation) dan prosen kontraksi atau reduksi penampang (reduction of area) maupun bentuk penampang patahannya

.

Data pengujian ini diperoleh dalam tiga kelompok pengujian yaitu spesimen raw materials, hasil proses hardening dan tempering Kekuatan tarik material baja karbon sedang sebesar 73,45 kg/mm2, setelah proses hardening menjadi 185,07 kg/mm2

atau mengalami peningkatan 151,96%. Setelah proses tempering 2750C menjadi sebesar 123,43 kg/mm2 atau meningkat 68,04%, setelah proses tempering 4250C

menjadi sebesar 114,14 kg/mm2 atau meningkat 55,4% dan setelah proses tempering 6000C menjadi sebesar 87,73 kg/mm2 atau mengalami peningkatan 19,44%.


Spesimen tanpa perlakuan mempunyai kekuatan luluh 46,34 kg/mm2, setelah proses hardening menjadi 90,035 kg/mm2 meningkat 94,29%. Setelah proses tempering 2750C menjadi sebesar 88,07 kg/mm2 atau meningkat 90,05%, setelah tempering 4250C menjadi 75,9 kg/mm2 atau meningkat 63,79% dan menjadi 70,84

kg/mm2 setelah tempering 6000C atau meningkat 52,87%.


Perpanjangan spesimen raw materials sebesar 23,43% menjadi 0,8% setelah proses hardening atau menurun 96,59%, setelah proses tempering 2750C menjadi sebesar 2,43% atau menurun 89,63%. Setelah proses tempering 4250C menjadi sebesar 11,48% atau menurun 51% dan setelah proses tempering 6000C menjadi sebesar 15,39% atau menurun 34,31%. Gambar 6. Prosen perpanjangan Sedangkan kontraksi spesimen raw materials sebesar 50,57%, menjadi sebesar 2,53% setelah proses hardening atau menurun 94,99%. Setelah proses tempering 2750C menjadi sebesar 8,5% atau menurun 83,19%, setelah proses tempering 4250C menjadi sebesar 38,09% atau menurun 24,68% dan setelah proses tempering 6000C kontraksi menjadi 49,53% atau menurunan 2,05%.

Bentuk Penampang Patahan

Treatment dengan proses tempering pada suhu 2750C menghasilkan bentuk patahan star fracture dengan tekstur kristalin, sekilas tampak rata (flat) tetapi terdapat sobekan tak beraturan di pinggir diameter ukur dan butirannya seperti kristal. Bentuk penampang patahan pada spesimen dengan proses tempering suhu

4250C adalah partial cup-cone dengan butiran halus, menujukkan bahan mempunyai perpanjangan atau mulai mempunyai keuletan sehingga harga


kekuatan dan kekerasannya sedikit menurun. Proses tempering dengan suhu pemanasan 6000C memperoleh penampang patahan yang berbentuk partial cup-cone dengan butiran agak kasar, menunjukkan perpanjangan bahan lebih besar dari pada kedua proses tempering sebelumnya.

PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN

Data hasil penelitian yang ditabulasikan dalam bentuk diagram batang dan gambar struktur mikro serta penampang patahan diketahui ada perbedaan karakteristik kekuatan tarik statis dari spesimen penelitian antara raw materials, proses hardening dengan suhu 8250C dan yang mengalami proses tempering dengan variasi suhu pemanasan: 2750C, 4250C dan 6000C yang menggunakan waktu penahanan 30 menit. Hasil kekuatan tarik pada kelompok spesimen raw materials sebesar 73,45

kg/mm2 dengan VHN sebesar 190, berpenampang patah partial cup-cone tekstur granular yang menandakan bahan mempunyai keuletan sehingga perpanjangan dan reduksi penampangnya besar. Strukturnya terdiri dari ferit dan perlit, karena mempunyai kandungan 0,473 % berat karbon. Peningkatan kekerasan dan kekuatan bahan akan dapat dicapai dengan proses hardening. Proses hardening menghasilkan bahan dengan kekuatan tarik 185,07 kg/mm2 dengan kekerasan sangat tinggi, yaitu VHN sebesar 737,67. Harga ini sangat tinggi sehingga penampang patahnya berbentuk flat dengan butiran halus, berarti kekuatan tariknya besar sehingga keuletan (perpanjangan dan reduksi penampang) hampir tidak ada. Kekuatan semakin besar sudah pasti kekerasannya juga tinggi, karena struktur yang terbentuk setelah dicelup adalah martensit. Struktur martensit mempunyai kelemahan yaitu getas, sehingga harus di-temper agar dapat dipakai dalam peralatan maupun konstruksi mesin yang mensyaratkan keuletan. Kelompok spesimen tempering dengan suhu 2750C (low temperature tempering) mempunyai kekuatan tarik sebesar 123,43 kg/mm2 dengan VHN sebesar 562, perpanjangan dan reduksi penampang mulai ada sehingga keuletan bahan sedikit bertambah. Pemanasan pada suhu ini menghasilkan epsilon karbida yang sangat halus sehingga kekerasan dan kekuatannya turun dari pada proses hardening, penampang patah terlihat rata (flat) tetapi pada pinggirannya terdapat sobekan yang

tidak teratur dan sering disebut star fracture dengan tekstur kristalin karena bagian kulitnya mulai lunak. Proses tempering 4250C (medium temperature tempering) mempunyai kekuatan tarik dan kekerasan sebesar 114,14 kg/mm2 dengan VHN sebesar 446,3. Nilai perpanjangan dan reduksi penampang bertambah besar, sehingga penampang patahannya berbentuk partial yang terbentuk adalah bainit yang terdiri dari ferit dan epsilon karbida, sehingga kekerasan mengalami penurunan dari proses sebelumnya.

Suhu temper dinaikkan sampai 6000C (high temperature tempering) akan mengubah martensit menjadi ferit dan sementit, dengan lepasnya karbon dari martensit dan bergabung dengan epsilon karbida yang membentuk sementit lagi. Perpanjangan bertambah berarti keuletan bahan naik dan kekuatan tariknya turun,

sehingga penampang patahan akan membentuk partial cup-cone dengan butiran lebih kasar lagi. Kekuatan tarikmenjadi sebesar 87,73 kg/mm2 dengan VHN sebesar 283. Dengan melihat analisis data yang telah diperoleh di atas menunjukkan bahwa

perubahan suhu temper sangat mempengaruhi karakteristik baja karbon sedang ditinjau dari kekuatan tarik, kekuatan luluh, perpanjangan, reduksi penampang, struktur mikro, penampang patahan dan kekerasannya. Fenomena semacam ini menunjukkan bahwa dengan proses hardening bahan akan sangat kuat dan keras tetapi cenderung getas sehingga perpanjangan dan reduksi penampang hampir tidak ada dan bentuk penampang patahnya flat. Spesimen mengalami penurunan kekuatan tarik dan kekerasan jika dilanjutkan pada proses tempering, perpanjangan dan reduksi penampangnya mulai ada walaupun sedikit serta bentuk penampang patahnya tidak lagi flat. Semakin tinggi suhu tempering maka kekuatan tarik semakin menurun karena butiran yang terbentuk semakin kasar yang menjadikan ikatan antar butir berkurang, perpanjangan dan reduksi penampangnya semakin meningkat sehingga bentuk patahannya menuju cup cone. Artinya bahan akan semakin liat dengan kekerasan yang sedikit berkurang.

KESIMPULAN

Besarnya harga kekuatan tarik raw materials adalah 73,45 kg/mm2 dengan VHN sebesar 190, sedangkan setelah proses hardening menjadi 185,07 kg/mm2 dengan VHN sebesar 737,67. Tempering 2750C menghasilkan 123,43 kg/mm2 dan VHN sebesar 562, sedangkan 114,14 kg/mm2 dan VHN sebesar 446,3 dihasilkan pada suhu 4250C dan pada suhu 6000C menjadi 87,73 kg/mm2 dan VHN sebesar 283. Beberapa saran yang dapat diberikan adalah perlu adanya penelitian lanjut melihat efek tegangan dalamnya (internal stress), pengamatan permukaan perpatahan dengan fraktografi (Scanning Electron Microscope) dan lain-lain.

Keramik Superkonduktor

SUPERKONDUKTOR

Superkonduktivitas suatu bahan bukanlah hal yang baru. Sifat ini diamati untuk yang pertama kalinya pada tahun 1911 oleh fisikawan Belanda H.K. Onnes, yaitu ketika ia

menemukan bahwa air raksa murni yang didinginkan dengan helium cair ( suhu 4,2 K) kehilangan seluruh resistansi listriknya. Sejak itu harapan untuk menciptakan alat-alat listrik yang ekonomis terbuka lebar-lebar. Bayangkan, dengan resistansinya yang nol itu superkonduktor dapat menghantarkan arus listrik tanpa kehilangan daya sedikitpun, kawat superkonduktor tidak akan menjadi panas dengan lewatnya arus listrik. Kendala terbesar yang masih menghadang terapan superkonduktor dalam peralatan praktis sehari-hari adalah bahwa superkonduktivitas bahan barulah muncul pada suhu yang amatrendah, jauh di bawah 0 °C! Dengan demikian niat penghematan pemakaian daya listrik masih harus bersaing dengan biaya pendinginan yang harus dilakukan. Oleh sebab itulah para ahli sampai sekarang terus berlomba-lomba menemukan bahan superkonduktor yang dapat beroperasi pada suhu tinggi, kalau bisa ya pada suhu kamar.

SUHU KRITIK

Perubahan watak bahan dari keadaan normal ke keadaan superkonduktor dapat dianalogikan misalnya dengan perubahan fase air dari keadaan cair ke keadaan padat.

Perubahan watak seperti ini sama-sama mempunyai suatu suhu transisis, pada transisi

superkonduktor suhu ini disebut sebagai suhu kritik Tc, pada transisi fase ada yang disebut titik didih (dari fase cair ke gas) dan titik beku (dari fase cair ke padat). Pada transisi feromagnetik suhu transisinya disebut suhu Curie. Besaran fisis yang berkaitan dengan transisi superkonduktor adalah resistivitas bahan, mari kita lihat grafik resistivitas sebagai fungsi suhu mutlak pada gambar 1.

Pada suhu T > Tc bahan dikatakan berada dalam keadaan normal, ia memiliki Resistansi listrik. Transisi ke keadaan normal ini bukan selalu berarti menjadi konduktor biasa yang baik, pada umumnya malah menjadi penghantar yang jelek, bahkan ada yang ekstrim menjadi isolator! Untuk suhu T <>c bahan berada dalam keadaan superkonduktor. Di dalam eksperimen, pengukuran resistivitasnya dilakukan dengan menginduksi suatu sampel bahan berbentuk cincin, ternyata arus listrik yang terjadi dapat bertahan sampai bertahun-tahun. Resistivitasnya yang terukur tidak akan melebihi 10-25 ohm.meter, sehingga cukup beralasan bila resistivitasnya dikatakan sama dengan nol. Perkembangan bahan superkonduktor dari saat pertama kali ditemukan sampai sekarang dapat diikuti pada tabel di bawah ini.

Keluarga superkonduktor yang terdiri dari unsur-unsur tunggal yang dipelopori oleh temuan Onnes, disebut superkonduktor tipe I atau superkonduktor konvensional, ada kira-kira 27 jenis dari tipe ini. Suatu hal yang menarik, bahwa unsur-unsur yang pada suhu kamar merupakan konduktor banyak diantara mereka yang tidak memiliki sifat superkonduktor pada suhu rendah, contohnya tembaga, perak dan golongan alkali. Pada tahun 1960-an lahirlah keluarga superkonduktor tipe II, yang biasanya berupa kombinasi unsur molybdenum (Mo), niobium (Nb), timah (Sn), vanadium (V), germanium (Ge), indium (In) atau galium (Ga). Sebagian merupakan senyawa, sebagian lagi merupakan larutan padatan. Sifatnya agak berbeda dengan tipe I karena suhu kritiknya relatif lebih tinggi, sehingga tipe II ini sering disebut superkonduktor yang alot. Semua alat yang telah menerapkan superkonduktor dewasa ini menggunakan bahan tipe II ini, alasannya akan menjadi jelas kemudian. Pada tahun 1985 di laboratorium riset IBM di Zurich, A.Muller dan G.Bednorz memulai era baru bagi ilmu bahan superkonduktor. Mereka menemukan bahwa senyawa keramik tembaga oksida dapat memiliki sifat superkonduktor pada suhu yang relatif tinggi, rekor suhu kritik yang saat ini sudah mencapai 125 K juga dipegang oleh golongan ini. Perkembangan selanjutnya tampak agak seret, para ahli sendiri masih meributkan ada tidaknya batas suhu kritik yang mungkin dicapai. Ahli riset di Institut Teknologi California meramalkan bahwa suhu kritik superkonduktivitas tidak akan pernah melampaui 250 K, jadi masih cukup jauh di bawah suhu kamar. Apakah benar demikian, kita tunggu saja hasil-hasil penelitian berikutnya.


MEDAN MAGNET KRITIK

Tinggi rendahnya suhu transisi Tc dipengaruhi banyak faktor. Seperti tekanan yang dapat menurunkan titik beku air, suhu kritik superkonduktor juga bisa turun dengan hadirnya medan magnet yang cukup kuat. Kuat medan magnet yang menentukan harga Tc ini disebut medan kritik (Hc). Kita lihat grafik ketergantungan Tc terhadap kuat medan magnet pada gambar2. Walaupun Pb bersuhu kritik normal (tanpa medan magnet) 7,2 K, apabila ia dikenai medan H = 4,8 ´ 104 A/m misalnya, suhu kritiknya turun menjadi 4 K. Artinya dengan medan sbesar itu pada suhu 5 K pun Pb masih bersifat normal. Medan kritiknya ini dapat dinyatakan dengan persamaan :

Hc (0) adalah harga maksimum Hc yaitu harga pada suhu 0 K. Medan kritik ini tidak harus berasal dari luar, tapi juga bisa ditimbulkan oleh medan internal, yaitu jika ia diberi aliran arus listrik. Untuk superkonduktor berbentuk kawat beradius r, arus kritiknya dinyatakan oleh aturan Silsbee :

Jadi pada suhu tertentu ( T <>c ) , bahan superkonduktor memiliki ketahanan yang terbatas terhadap medan magnet dari luar dan arus listrik yang bisa diangkutnya. Kalau harga-harga kritik ini dilampaui, sifat superkonduktor bahan akan lenyap dengan sendirinya. Ambil contoh untuk kawat Pb beradius 1 mm pada suhu 4 K, agar ia tetap bersifat superkonduktor ia tidak boleh menerima medan magnet lebih besar dari 48000 A/m atau mengangkut arus listrik lebih dari 300 A. Pada ukuran dan suhu yang sama Nb3Sn mampu mengangkut 12500 A, oleh sebab itulah secara teknis superkonduktor tipe II lebih baik pakai. Sebagai perbandingan YBCO pada suhu 77 K dapat mengangkut arus sebesar 530 A, cukup lumayan! Naiknya suhu operasi mempunyai nilai ekonomis, karena biaya pendinginan menjadi lebih murah dibandingkan helium cair (untuk menjaga suhu 4 K). Satu liter He harganya US$ 4 (Rp.7000) sedangkan satu liter N2 cuma 25 cent (Rp.450), padahal dalam prakteknya penguapan 1 liter N2 setara dengan penguapan 25 liter He.

EFEK MEISSNER

Sifat kemagnetan superkonduktor diamati oleh Meissner dan Ochsenfeld pada tahun 1933, ternyata superkonduktor berkelakuan seperti bahan diamagnetiksempurna, ia menolak medan magnet sehingga ia pun dapat mengambang di atas sebuah magnet tetap. Jadi kerentanan magnetnya (susceptibility) c = -1, bandingkan dengan konduktor biasa yang c = -10-5. Fenomena ini disebut efek Meissner yang tersohor itu.

Jadi satu keunggulan lagi bagi superkonduktor terhadap konduktor biasa. Ia tidak saja menjadi perisai terhadap medan listrik, tapi juga terhadap medan magnet, artinya medan listik dan magnet sama dengan nol di dalam bahan superkonduktor. Tetapi pada tahun 1935 London bersaudara melalui penelitian sifat elektrodinamik superkonduktor mendapatkan bahwa intensitas medan magnet masih dapat menembus

bahan superkonduktor walaupun hanya sebatas permukaan saja, ordenya hanya beberapa ratus angstrom. Sifat rembesan ini dinyatakan oleh parameter l yang disebut kedalaman rembesan London. Medan magnet ternyata berkurang secara eksponensial terhadap kedalaman sesuai dengannya.

Bo adalah medan di luar dan x adalah kedalamannya. l membesar dengan naiknya suhu, di Tc harga l tak berhingga besar, sehingga medan magnet mampu menerobos ke seluruh bagian bahan tersebut atau dengan perkataan lain sifat superkonduktor telah hilang digantikan dengan keadaan normalnya. Teori London ini juga memberikan kesimpulan bahwa dalam bahan supekonduktor arus listrik akan mengalir di bagian permukaannya saja. Hal ini berbeda dengan arus listrik dalam konduktor biasa yang mengalir secara merata di seluruh bagian konduktor. Perbandingan watak magnetik pada keadaan normal, superkonduktor tipe I dan tipe II adalah seperti pada gambar 3.

Pada tipe ii terdapat daerah peralihan yaitu antara Hcl dan Hc , pada saat itu struktur bahan terjadi dari daerah normal yang berupa silinder-silinder kecil, disebut fluksoid karena bisa diterobos fluks magnet, yang dikelilingi sepenuhnya oleh daerah superkonduktor.

TEORI BCS

Teori tentang superkonduktor yang lebih terinci melibatkan mekanika kuantum yang dalam, diajukan oleh Barden, Cooper dan Schrieffer pada tahun 1975 dikenal sebagai teori BCS yang akhirnya memenangkan hadiah Nobel pada tahun 1972. Dalam teori ini dikatakan bahwa elektron-elektron dalam superkonduktor selalu dalam keadaan berpasang-pasangan dan seluruhnya berada dalam keadaan kuantum yang sama, pasangan-pasangan ini disebut pasangan Cooper. Kita bandingkan dengan elektron konduksi dalam konduktor biasa. Di sini elektron bergerak sendiri-sendiri dan akan kehilangan sebagian energinya jika ia terhambur oleh kotoran (impurities) atau oleh phonon, phonon adalah kuantum energi getaran kerangka (lattice) kristal bahan. Elektron tersebut akan menimbulkan distorsi terhadap kerangka kristal sehingga menimbulkan daerah tarikan. Tarikan ini dalam superkonduktor pada suhu rendah bisa mengalahkan tolakan Coulomb antar elektron, sehingga dengan ukar menukar phonon dua elektron justru akan membentuk ikatan menjadi pasangan Cooper. Oleh karena keadaan kuantum mereka semuanya sama, suatu elektron tidak dapat terhambur tanpa mengganggu pasangannya, padahal pada suhu T <>c getaran kerangka tidak memiliki cukup energi untuk mematahkan ikatan pasangan tersebut. Akibatnya mereka tahan terhadap hamburan, jadilah bahan tersebut superkonduktor.

SUPERKONDUKTOR KERAMIK

Bahan superkonduktor suhu tinggi yang memiliki bahan dasar keramik secara teoritis belum dapat dijelaskan tuntas. Ia tidak bisa digolongkan ke dalam tipe I maupun II karena ada beberapa sifatnya yang unik. Bentuk kristalnya termasuk golongan perovskite, suatu bentuk kristal kubus yang cukup populer. Rumus umum molekul perovskite adalah ABX3 , dimana A dan B adalah kaiton logam dan X adalah anion non logam. Banyak bahan elektronis yang memiliki bentuk perovskite ini, misalnya PbTiO3 dan PbZrO3 yang bersifat piezoelektrik kuat sehingga baik digunakan untuk pressure-gauge. Superkonduktor suhu tinggi ini ternyata berupa perovskite yang cacat. Misalnya YBCO yang ditemukan oleh Chu Chingwu cs. dari Universitas Houston berbentuk 3 kubus perovskite dengan rumus molekul YBa2Cu3O6,5 , yang menunjukkan defisiensi atom oksigen sebagai anionnya (mestinya ada 9 atom). Nama lain untuk YBCO ini adalah 1-2-3, menunjukkan perbandingan cacah atom Y, Ba dan Cu di dalam kristalnya. Atom-atom tembaganya terletak pada suatu lapisan inilah arus listrik lewat dalam bahan YBCO. Struktur yang demikian memiliki andil yang besar bagi sifat superkonduktivitas suhu tinggi, terbukti senyawa barium-kalium-bismuth-oksida buatan AT & T Bell Laboratoies (1988) cuma memiliki Tc = 30 K, senyawa ini tentu saja tidak memiliki atom tembaga sebagai lapisan penghantar elektron. Elektron-elektron juga dalam keadaan berpasangan, hal ini telah dibuktikan dengan dijumpainya flukson yang merembes di dalamnya. Flukson adalah kuantum fluks magnetik dalam superkonduktor, besarnya kira-kira 2 x 10-15 weber, dalam perhitungan besarnya ini bersesuaian dengan kehadiran partikel bermuatan listrik dua kali muatan elektron. Watak-wataknya yang masih perlu penjelasan teoritis adalah tarikan antar elektron dalam pasangan Cooper yang ternyata masih cukup kuat walaupun suhu transisinya tinggi. Padahal suhu yang tinggi menyebabkan bertambahnya cacah phonon, sehingga ikatan elektron itu seharusnya akan hancur karenanya. dalam kaitan ini peranan kerangka kristal harus kembali dipertanyakan. Mungkin saja kotoran di dalamnya yang justru mampu meredam interaksi phonon atau gangguan-gangguan lain termasuk medan magnet yang besar agar ia tetap stabil sebagai superkonduktor. Sifat lain yang tidak menguntungkan dari YBCO adalah mudahnya ia melepaskan oksigen ke lingkungannya, padahal dengan berkurangnya atom oksigen sifat superkonduktornya akan hilang. Lagi pula ia terlalu rapuh untuk dibentuk menjadi kawat. Lebih jauh lagi Philip W. Anderson (pemenang hadiah Nobel 1977 bidang Fisika) mengemukakan peranan besaran spin dalam fenomena superkonduktor suhu tinggi ini, pernyataan ini telah didukung oleh data percobaan MIT oleh RJ Birgeneau. Sungguh merupakan sebuah tantangan besar bagi para ahli dari berbagai bidang untuk memahami lebih jauh fenomena superkonduktor jenis baru ini. Tampaknya bahan ini akan semakin merajai teknologi pada masa yang akan datang, yaitu abad XXI.

Silikat dan Titanium Silikat Mesopori-Mesotruktur Berbasis Struktur

Telah berhasil disintesis dan dipelajari material mesopori-mesostruktur silikat (MCM-41 & MCM-48) dan titanium silikat (Ti-MCM-41 & Ti-MCM-48). Material MCM-41 dan MCM-48 diperoleh dari hidrolisis dan kondensasi tetraetil ortosilikat (TEOS) sebagai sumber silika dan surfaktan cetiltrimetil amonium bromida (CTAB) sebagai pencetak. NaOH sebagai pembentuk basa dan air sebagai pelarut, sedangkan pada sintesis Ti-MCM-41 dan Ti-MCM-48 ditambahkan kristal [Ti8O12(H2O)24]Cl8.HCl.7H2O sebagai sumber titanium. Surfaktan dapat dihilangkan melalui kalsinasi dalam tungku pemanas pada suhu 550 0C selama 5 jam. MCM-41 dan Ti-MCM-41, masing-masing memiliki struktur heksagonal dengan grup bidang p6, dan parameter kisi berturut-turut, yaitu a = 44,09 dan 49,48 Ǻ, sedangkan MCM-48 dan Ti-MCM-48, masing-masing memiliki struktur kubik dengan grup ruang Ia3d dan parameter kisi, yaitu a = 87,46 dan 94,42 Å.

Perkembangan material mesopori-mesostruktur sangat pesat menjadi perhatian banyak peneliti, terutama sejak ditemukannya anggota keluarga M41S dari silikat atau aluminosilikat mesopori-mesostruktur oleh peneliti dari Mobil Oil Corporation pada tahun 19921). Surfaktan sebagai agen strukturasi (pencetak atau pembentuk struktur) digunakan untuk mendapatkan material silikat dengan struktur lapis (lamellar) (MCM-50), heksagonal (MCM-41) dan kubik (MCM-48).

Penemuan tersebut mengundang minat untuk mengembangkan material sejenis, yaitu titanium silikat mesopori-mesostruktur. Hal ini didorong atas penemuan prekursor baru titanium aquo-okso klorida dengan rumus struktur [Ti8O12(H2O)24] Cl8.HCl.7H2O2). Kristal ini memiliki sistem monoklinik, grup ruang Cc, dan parameter kisi-kisi : a = 20,3152(11) Å; b = 11,718(7) Å; c = 24,2606(16) Å dan β = 111,136(7)°. Senyawa ini tersusun dari kation oktamerik [Ti8O12(H2O)24]8+, molekul air dan anion Cl. Struktur kation oktamerik berupa kluster dengan simetri pseudo kubik tersusun dari 8 oktahedral TiO3(H2O)3 yang terhubung melalui puncak anion okso. Kristal tersebut bersifat mudah larut dalam air, aseton dan alkohol, sedangkan dalam air dengan konsentrasi tinggi mudah terkondensasi. Penemuan prekursor ini mendorong penelitian baru, yaitu penggunaan ion Ti(IV) dalam kerangka silikat MCM-41 dan MCM-48. Hal ini didasarkan atas kenyataan bahwa Ti(IV) memiliki bilangan koordinasi 4 di samping 5,6 dan 8 dalam senyawanya dengan oksigen (ion okso), sehingga dimungkinkan untuk mengganti posisi ion Si(IV) yang memiliki struktur geometri tetrahedral.

Mesopori-mesostruktur Ti-MCM-41 dan TiMCM-48 memiliki prospek sebagai katalis pada proses hidroksilasi, amoksimasi, epoksidasi, oksidasi senyawa organik melalui mekanisme pusat V3). Perubahan spesies Ti(IV) menjadi Ti(III) selanjutnya berubah kembali menjadi Ti(IV) merupakan konsep dasar yang terjadi pada proses katalitik redoks senyawa organik di atas. Aktifitas dan selektifitas katalitik material mesopori-mesostruktur di atas, dipengaruhi oleh berbagai faktor di antaranya, morfologi, kristalinitas, kemurnian, porositas, dan kuantitas atom titanium yang masuk dalam kerangka silikat. Berdasarkan faktor tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mempelajari sintesis silikat dan titanium mesopori-mesostruktur dengan struktur heksagonal dan kubik.

1. Material dan Metode

1.1. Material

Bahan-bahan yang digunakan untuk sintesis MCM-41 dan MCM 48, yaitu larutan tetraetilorto silikat (TEOS) (Aldrich, 98%) sebagai sumber atom Si, cetiltrimetil ammonium bromida (CTAB) (Merck, 99 %) merupakan surfaktan yang berfungsi sebagai pencetak (template), NaOH (Merck) sebagai pengkondisi basa dan akuades sebagai pelarut. Ti-MCM-1 dan Ti-MCM-48 disintesis dari bahan seperti pada MCM-41 dan MCM-48, dengan penambahan kristal [Ti8O12(H2O)24]Cl8.HCl.7H2O sebagai sumber logam titanium.

1.2. Sintesis silikat dan titanium silikat mesopori-mesostruktur

MCM-41 dihasilkan dari reaksi bahan di atas dengan komposisi mol, yaitu SiO2 : CTAB : NaOH : H2O = 1 : 0,28 : 0,35 : 45. Larutan campuran dengan volume total sekitar 10 mL dalam wadah teflon tersebut diaduk selama 2 jam pada suhu kamar hingga homogen. Selanjutnya wadah teflon dimasukkan ke dalam reaktor (bomb hydrothermal) dan dipanaskan dalam oven pada tekanan autogeneous dengan suhu 1200C selama 4 hari. Endapan yang terbentuk disaring dan dicuci dengan akuades hingga bersih, selanjutnya dikeringkan pada suhu 1000C selama 1 jam dan dikalsinasi pada suhu 5500C selama 5 jam. Padatan yang dihasilkan dikarakterisasi dengan difraktometer sinar-X dan spektrofotometer FT-IR.

Ti-MCM-41 disintesis menggunakan cara kerja yang sama sebagaimana pada sintesis MCM-41 dengan menambahkan kristal [Ti8O12(H2O)24] Cl8.HCl.7H2O. Komposisi mol reaktan, yaitu SiO2 : TiO2 : CTAB : NaOH : H2O = 1 : 0,03 : 0,25 : 0,45 : 50.

MCM-48 disintesis dari reaksi TEOS, CTAB, NaOH, dan air. Komposisi mol campuran yaitu : SiO2 : CTAB : NaOH : H2O = 1 : 0,65 : 0,125: 62. Larutan campuran yang memiliki volume total sekitar 10 mL dalam wadah teflon, diaduk selama 2 jam pada suhu kamar hingga homogen. Wadah teflon dimasukkan ke dalam reaktor (bomb hydrothermal) dan dipanaskan dalam oven pada tekanan autogeneous dengan suhu 1000C selama 4 hari. Endapan yang terbentuk kemudian disaring dan dicuci dengan akuades hingga bersih. Selanjutnya, endapan dikeringkan pada suhu 1000C selama 1 jam dan dikalsinasi pada suhu 500oC selama 5 jam. Serbuk dikarakterisasi dengan difraktometer sinar-X dan spektrofotometer FT-IR

Sintesis Ti-MCM-48 dilaksanakan dengan mereaksikan [Ti8O12(H2O)24]Cl8.HCl.7H2O, TEOS, CTAB, NaOH, dan air melalui cara kerja sebagaimana sintesis MCM-48. Komposisi mol reaktan yaitu SiO2 : TiO2 : CTAB : NaOH : H2O = 1 : 0,03 : 0,65 : 0,125: 62.

1.3. Karakterisasi

Alat-alat yang digunakan untuk karakterisasi padatan mesopori-mesostruktur, yaitu difraktometer sinar-X serbuk merk Shimadzu Seri-6000 dan Spektrofotometer Infra Merah merk Shimadzu (FT-IR) 8201PC.

Pengukuran FT-IR menggunakan metode pelet KBr pada bilangan gelombang vibrasi 400-4000 cm-1. Grafik hasil pengukuran dengan difraktometer sinar-X dan spektrofotometer FT-IR diganbarkan dengan program Winplotr4).

1.4. Analisis kristalografi

Analisis kristalografi heksagonal dan kubik mesopori-mesostruktur, yang meliputi sistem kristal, parameter kisi dan bidang-bidang kristal dilakukan melalui perhitungan kristalografi sederhana berdasarkan aturan bidang refleksi berbasis faktor struktur dan amplitudo hamburan sinar-X oleh atom dalam sel satuan5). Atas dasar sistem kristal dan parameter kisi dari perhitungan, diterapkan untuk memperoleh harga sudut (2θ) bidang-bidang kristal secara teoritis dengan program Powder-X6).

2. Hasil dan Diskusi

2.1. Sintesis MCM-41 dan Ti-MCM-41

Material silikat mesopori-mesostruktur yang dihasilkan memiliki struktur rentang panjang heksagonal, sedangkan struktur rentang pendek berupa material amorf. Bukti adanya struktur heksagonal dijumpai bidang (100) dan (200) setelah kalsinasi dari hasil difraksi sinar-X (Gambar 1). Pada struktur lapis/layer tidak akan dijumpai bidang tersebut setelah kalsinasi, hanya akan muncul pada material sebelum kalsinasi.

Hasil karakterisasi MCM-41 sebagaimana difraktogram sinar-X pada Gambar 1(a) diperoleh dua puncak, yaitu 2θ = 2,31o (d = 38,91 Å) dan 4,44o (d=19,47 Å) yang berturut-turut merupakan refleksi bidang kristal (100) dan (200). Bidang kristal (100) dan (200) dimungkinkan merupakan pola difraksi sinar-X material mesopori-mesostruktur dengan struktur layer (lamellar) (MCM-50) atau heksagonal (MCM-41). Pola difraksi sinar-X di atas berasal dari padatan yang telah melalui proses kalsinasi pada suhu 500 oC selama 5 jam, sehingga sangat tidak mungkin bahwa pola difraksi sinar-X tersebut dari material mesopori-mesostruktur dengan struktur layer (lamellar) (MCM-50). Material mesopori-mesostruktur dengan struktur layer (lamellar) (MCM-50) berubah menjadi amorf dengan adanya pemanasan, sebaliknya tidak terjadi pada material mesopori-mesostruktur dengan struktur heksagonal (MCM-41). Berdasarkan penjelasan tersebut, disimpulkan bahwa difraktogram pada Gambar 1 merupakan pola difraksi sinar-X dari material mesopori-mesostruktur heksagonal (MCM-41 dan Ti-MCM-41).

Parameter kisi kristal heksagonal silikat mesopori-mesostruktur MCM-41 dan Ti-MCM-41 tersebut sebesar 44,09 dan 49,48 Å. Perhitungan diperoleh berdasarkan faktor struktur atau amplitudo hamburan atom dalam sel satuan. Parameter kisi pada MCM-41 lebih kecil dibandingkan Ti-MCM-41, karena jari-jari Ti(IV) lebih besar dibandingkan Si(IV) yaitu Si(IV) pada bilangan koordinasi 4 dan 6 berturut-turut 40 dan 56 pm, sedangkan Ti(IV) pada bilangan koordinasi 4; 5; 6 dan 8 berturut-turut 56; 65; 74,5 dan 88 pm7). Pada difraktogram sinar-X titanium silikat mesopori-mesostruktur (Ti-MCM-41) sebagaimana pada Gambar 1(b) tidak ditemukan adanya titanium oksida (TiO2) dengan struktur anatas, TiO2(B), rutil, brookit, holandit dan TiO2-tipe PbO2, sehingga disimpulkan bahwa kemurnian titanium silikat mesopori-mesostruktur yang dihasilkan sangat tinggi.

Suatu kristal heksagonal memiliki parameter kisi: a = b, c, α = β = 90o, γ = 120o. Material logam silikat mesopori-mesostruktur memiliki struktur amorf secara struktur rentang pendek, tetapi secara rentang panjang memiliki struktur kristalin, dengan demikian material heksagonal mesopori-mesostruktur yang berupa suatu lorong merupakan material 2 dimensi dengan parameter kisi a = b, sedangkan c = ∝ (tak terbatas). Atas dasar tersebut grup bidang material heksagonal mesopori-mesostruktur termasuk dalam grup bidang sistem bidimensional, dimana untuk heksagonal dua dimensi terdiri dari 2 grup bidang yaitu p6 atau p6mm8). Adanya kisi c = ∝ pada material heksagonal mesopori-mesostruktur di atas, mengakibatkan bidang bidang kristal yang dimiliki atau muncul pada difraktogram, hanya bidang kristal (hk0). Berbagai jenis heksagonal logam silikat mesopori-mesostruktur yang telah ditemukan terdiri dua jenis grup bidang yaitu p6 dan P63/mmc9). Dari kedua grup bidang tersebut, p6 merupakan grup bidang untuk struktur dua dimensi, sedangkan P63/mmc untuk struktur tiga dimensi. Berdasarkan difraktogram difraksi sinar-X pada Gambar 1, maka material heksagonal mesopori-mesostruktur memiliki grup bidang p6, karena bidang difraksi yang muncul merupakan bidang kristal (hk0) yang merupakan karakteristik heksagonal dua dimensi, yaitu (100) dan (200).

Spektra FT-IR silikat mesopori-mesostruktur MCM-41 dan Ti-MCM-41 dapat dilihat pada Gambar 2. Pita serapan pada daerah bilangan gelombang 458 cm-1 menunjukkan vibrasi tekuk Si-O-Si, sedangkan bilangan gelombang 800 dan 1085 cm-1 merupakan vibrasi ulur simetrik dan asimetrik Si-O-Si dari struktur tetrahedral. Pita serapan kerangka silikat tipe zeolit MFI atau MEL sangat khas muncul pada bilangan gelombang 565 dan 946 cm-1 yang masing-masing secara berturut-turut merupakan vibrasi tekuk dan ulur Si-O-Si10). Spektra pada bilangan gelombang 1620 cm-1 dan pada bilangan gelombang 3225 dan 3420 cm-1 merupakan vibrasi simetrik-asimetri O-H dari H2O, sedangkan bilangan gelombang 3625 cm-1 merupakan vibrasi O-H dari silanol (Si-OH)11).

2.2. Sintesis MCM-48 dan Ti-MCM-48

Difraktogram sinar-X silikat mesopori-mesostruktur kubik (MCM-48) dan titanium silikat mesopori-mesostruktur (Ti-MCM-48) dapat dilihat pada Gambar 3. Difraktogram sinar-X tersebut menunjukkan sudut difraksi dari bidang (211) pada MCM-48 (2,483 Å) lebih besar dibandingkan Ti-MCM-48 (2,479 Å).

Berdasarkan perhitungan dengan analisis kristalografi sederhana berbasis struktur kubik menunjukkan bahwa kedua mesopori-mesostruktur ini memiliki sistem kristal kubik pusat badan dengan parameter kisi yaitu MCM-48 sebesar 87,46 Å, sedangkan Ti-MCM-48 sebesar 94,42 Å. Parameter kisi MCM-48 lebih kecil daripada Ti-MCM-48, hal ini disebabkan masuknya logam titanium dalam kerangka silikat mengakibatkan pengembangan parameter kisi karena jari-jari atom Ti(IV) dalam koordinasi 4 lebih besar daripada atom Si(IV). Penentuan grup ruang dalam artikel ini didasarkan atas Tschierske12) yang menyatakan bahwa sistem liotropik kubik mesofasa terdiri dari 2 jenis, yaitu fasa kubik sferoid (spheroid) (Cubi) dan fasa kubik bikontinyu (bicontinuous) (Cubv). Grup ruang fasa kubik sferoid terdiri dari 4 grup ruang yaitu Pm3n, Im3m, Fm3m dan Fd3m, sedangkan fasa kubik bikontinyu terdiri dari 3 grup ruang, meliputi Pn3m, Im3m dan Ia3d. Berdasarkan perhitungan difraktogram Gambar 3(a) dan 3(b) menunjukkan bahwa keduanya merupakan kristal kubik kubik pusat badan (I). Berdasarkan hal tersebut di atas, dengan demikian ada 4 kemungkinan grup ruang yaitu Pm3n, Pn3m, Im3m dan Ia3d. Berbagai jenis kubik mesopori-mesostruktur yang telah dipelajari memiliki grup ruang Pm3n atau Ia3d9). Material kubik mesopori-mesostruktur dengan grup ruang Pm3n dikenal dengan sebutan SBA-1, sedangkan grup ruang Ia3d dikenal sebagai MCM-48. Penentuan grup ruang kristal lebih tepat dan sangat meyakinkan dapat dilakukan dengan TEM (Transmission Electron Microscopy) melalui teknik CBED (Convergent Beam Electron Diffraction) .

Bidang-bidang kristal yang ada dalam struktur tersebut secara lengkap ditampilkan pada Tabel 1. Berdasarkan parameter kisi dari masing-masing MCM-48 dan Ti-MCM-48 yang diperoleh melalui perhitungan di atas, diperoleh bidang-bidang kristalnya dengan program Powder-X. Keberhasilan pengindeksan ditunjukkan melalui harga R (faktor kesalahan)14) untuk MCM-48 dan Ti-MCM-48 yaitu 0,0063 dan 0,0121. Semakin kecil harga yang dihasilkan berarti faktor kesalahan semakin kecil atau faktor kepercayaan semakin besar.

Spektra FT-IR MCM-48 dan Ti-MCM-48 dapat dilihat pada Gambar 4. Berdasarkan spektra FT-IR tersebut terlihat ada 2 jenis struktur yang menyusun kerangka kubik MCM-48 maupun Ti-MCM-48 yaitu kerangka tetrahedral dan silikat tipe zeolit MFI atau MEL. Kedua jenis struktur penyusun kubik ini sama sebagaimana dalam heksagonal MCM-41 atau Ti-MCM-41. Pita serapan pada bilangan gelombang 458 cm-1 menunjukkan vibrasi tekuk Si-O-Si, sedangkan bilangan gelombang 792 dan 1085 cm-1 merupakan vibrasi ulur simetrik-asimetrik Si-O-Si struktur tetrahedral. Pita serapan kerangka silikat tipe zeolit MFI atau MEL sangat khas muncul pada bilangan gelombang 548 dan 963 cm-1 yang berturut-turut merupakan vibrasi tekuk dan ulur Si-O-Si 10). Penggantian Si(IV) dengan Ti(IV) mengakibat-kan intensitas pita serapan pada bilangan gelombang 548 cm-1 menjadi berkurang, sedangkan pita serapan pada bilangan gelombang 963 cm-1 meningkat. Hal ini berarti bahwa pita serapan pada bilangan gelombang 963 cm-1 merupakan spesifik vibrasi tekuk dan ulur Ti-O-Si.

3. Kesimpulan

a). Silikat mesopori-mesostruktur heksagonal (MCM-41) dengan parameter kisi 44,09 Å dan grup bidang p6, berhasil disintesis dari reaksi tetraetil ortosilikat sebagai sumber silikon, surfaktan cetiltrimetilamonium bromida, NaOH sebagai pembentuk suasana basa, dan air.

b). Titanium silikat mesopori-mesostruktur heksagonal (Ti-MCM-41) dengan parameter kisi 49,48 Å dan grup bidang p6, berhasil disintesis dari reaksi kristal [Ti8O12(H2O)24] Cl8.HCl.7H2O, tetraetil ortosilikat dan cetiltrimetilamonium bromida, NaOH dan air.

c). Silikat mesopori-mesostruktur kubik (MCM-48) dengan parameter kisi 87,46 Å dan grup ruang Ia3d berhasil disintesis dari reaksi tetraetil ortosilikat, cetiltrimetil amonium bromida, NaOH dan air.

d). Titanium silikat mesopori-mesostruktur kubik (Ti-MCM-48) dengan parameter kisi 94,42 Å dan grup ruang Ia3d berhasil disintesis dari reaksi kristal [Ti8O12(H2O)24] Cl8.HCl.7H2O, tetraetil ortosilikat, cetiltrimetilamonium bromida, NaOH dan air.

4. Struktur Mikro Silikat ( SiO2 )

Silica Spheres

CLSM Image and Projction of Silica Spheres Gels

The amorphous structure of glassy Silica (SiO2). No long range order is present, however there is local ordering with respect to the tetrahedral arrangement of Oxygen (O) atoms around the Silicon (Si) atoms.

The amorphous structure of glassy Silica (SiO2). No long range order is present, however there is local ordering with respect to the tetrahedral arrangement of Oxygen (O) atoms around the Silicon (Si) atoms.